A. Pendahuluan
Sujud termasuk rukun di
dalam shalat yang dilakukan setelah i’tidal dengan sempurna. Ketika turun untuk
sujud disertai dengan membaca takbir dan tanpa mengangkat kedua tangan. Kita letakkan dua lutut
terlebih dahulu, lalu disusul dengan meletakkan dua tapak tangan, kemudian dahi
dan hidung. Jari-jari tangan dirapatkan dan siku direnggangkan (dijauhkan) dari
rusuk serta jari-jari kaki dipancatkan ke bumi. Jadi sujud ini dilakukan oleh dahi dan hidung,
kedua tapak tangan, kedua lutut dan kedua ujung jari-jari kaki. Di dalam
tulisan ini kita akan memaparkan tentang kaifiat sujud. Tujuannya adalah untuk menggambarkan
dan member pemahaman kepada orang-orang yang melaksanakan shalat tentang sujud
yang benar.
B. Sujud dan Kaifiatnya
Sabda Rasulullah Sawt:
عَنْ اَبِى بَكْرٍ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمنِ اَنَّهُ سَمِعَ اَبَا هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص
اِذَا قَامَ اِلَى الصَّلاَةِ يُكَبّرُ حِيْنَ يَقُوْمُ. ثُمَّ يُكَبّرُ حِيْنَ
يَرْكَعُ. ثُمَّ يَقُوْلُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ حِيْنَ يَرْفَعُ صُلْبَهُ
مِنَ الرُّكُوْعِ. ثُمَّ يَقُوْلُ وَ هُوَ قَائِمٌ: رَبَّنَا وَ لَكَ اْلحَمْدُ،
ثُمَّ يُكَبّرُ حِيْنَ يَهْوِى سَاجِدًا. ثُمَّ يُكَبّرُ حِيْنَ يَرْفَعُ
رَأْسَهُ. ثُمَّ يُكَبّرُ حِيْنَ يَسْجُدُ. ثُمَّ يُكَبّرُ حِيْنَ يَرْفَعُ
رَأْسَهُ. ثُمَّ يَفْعَلُ مِثْلَ ذلِكَ فِى الصَّلاَةِ كُلّهَا حَتَّى
يَقْضِيَهَا. وَ يُكَبّرُ حِيْنَ يَقُوْمُ مِنَ الْمَثْنَى بَعْدَ الْجُلُوْسِ.
ثُمَّ يَقُوْلُ اَبُوْ هُرَيْرَةَ: اِنّى لاَشْبَهُكُمْ صَلاَةً بِرَسُوْلِ اللهِ
ص. (رواه مسلم)[1]
Artinya: Dari Abu Bakar bin Abdur
Rahman, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah berkata, “Adalah Rasulullah Saw.
apabila berdiri shalat, beliau bertakbir ketika berdiri, kemudian
bertakbir ketika (hendak) ruku', kemudian membaca Sami'allāhu... ketika
mengangkat tulang belakangnya dari ruku', kemudian membaca Rabbanā... dalam
keadaan berdiri, kemudian bertakbir ketika tunduk untuk bersujud, kemudian
bertakbir ketika mengangkat kepalanya (dari sujud), kemudian bertakbir ketika
bersujud (yang kedua), kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya dari sujud.
Kemudian beliau melakukan yang demikian itu pada semua shalatnya hingga beliau
menyelesaikan shalat itu. Dan beliau bertakbir ketika berdiri dari reka'at
kedua setelah duduk (at-tahiyat awwal)”. Kemudian Abu Hurairah berkata,
“Sesungguhnya shalatku lebih menyerupai dengan shalat Rasulullah Saw. daripada
kalian”.
Deskripsi hadis ini menunjukkan bahwa cara sujud yang
benar adalah meletakkan dua lutut terlebih dahulu, kemudian dua tangan, lalu
dahi dan hidungnya.
Ø Sahkah sujud dengan kerikil menempel pada dahi dan atau
sehelai rambut?
Ketika
selesai shalat tatkala mengusap wajah ternyata didahi ada kerikil yang menempel.
Apakah shalatnya harus diulang? Shalatnya tidak diulang karena yang menjadi
ketentuan saat sujud adalah sebagian anggota dari dahinya telah menempel pada
tempat sujudnya. Keterangan diambil dari :
وَلَوْ
سُجَّدً عَلَى شَيْءٍ فَاِلْتَصَقَ بِجَبْهَتِهِ صَحَّ وَوَجَبَ إِزَالَتُهُ
لِلسُّجُودِ الثَّانِي وَقَوْلُهُ فَاِلْتَصَقَ بِجَبْهَتِهِ قَالٍ ع ش وَمِنْه
التُّرَابَ حَيْثُ مَنْعِ مُبَاشِرَةٍ جَمِيعَ الْجَبْهَةِ مَحَلُّ السُّجُودِ [2]
Bila
ia sujud pada suatu benda kemudian menempel pada dahinya maka sujudnya sah, dan
wajib menghilangkannya pada sujud yang kedua (sujud berikutnya). (Keterangan;
maka menempel pada dahinya) termasuk debu bila dapat mencegah bertemunya ‘semua
bagian dahinya’ pada tempat sujudnya.
al-Bakri Muhammad
Syaṭa ad-Dimyaṭi berkata di dalam karya monumentalnya I’ānah:
وَسَابَعُهَا
( سُجُودُ مرَّتَيْنٍ ) كُلُّ رَكْعَةٍ ...( مَعَ تَنْكِيسٍ ) بِأَنْ تَرْتَفِعَ
عَجِيزَتَهُ وَمَا حَوْلَهَا عَلَى رَأْسِهِ وَمَنْكِبِيِهِ لِلْاِتِّبَاعِ فَلَوْ
اِنْعَكَسَ أَوْ تَسَاوِيًا لَمْ يُجْزِئْهُ نَعَمْ إِنَّ كَانَ بِهِ عِلَّةً لَا
يُمْكِنْهُ مَعَهَا السُّجُودَ إلّا كَذَلِكً أَجْزَأَهُ ( بِوَضْعٍ بَعْضُ
جَبْهَتِهِ بِكَشْفٍ ) أَيْ مَعَ كَشْفٍ فَإِنَّ كَانَ عَلَيهَا حائِلً
كَعِصَابَةٍ لَمْ يَصِحُّ إلّا أَنْ يَكُونُ لِجِرَاحَةِ وَشَقٍ عَلَيه
إِزَالَتُهُ مَشَقَّةِ شَدِيدَةٍ فَيَصِحُّ ( و ) مَعً ( تَحَامَلَ ) بِجَبْهَتِهِ
فَقَطْ عَلَى مَصَلَاهُ بِأَنَّ ينال ثُقِلَ رَأْسُهُ خِلاَفًا لِلْإمَامِ ( و )
وُضِعَ بَعْضٌ ( ركبتيه و ) بَعْضٌ ( بَطْنٌ كَفِيه ) مِنَ الرَّاحَةِ وَبُطونُ
الْأَصابِعِ ( و ) بَعْضُ بَطْنٍ ( أَصابِعُ قَدَمِيِهِ ) دُونَ مَا عَدَا ذَلِكً
كَالْْحَرْفِ وَأَطْرافُ الْأَصابِعِ وَظُهْرَهُمَا[3]
Dan yang ke 7 (dari rukun shalat) adalah
sujud dua kali dalam
setiap raka’at dengan cara :
v Menundukkan
kepala (dengan cara mengangkat pantat dan anggota tubuh sekitarnya diatas kepala
dan kedua pundaknya karena itba’ pada Nabi, bila dibalik (kepala dan
pundak diatas pantat) atau sejajar maka tidak mencukupi sujudnya kecuali bila
ia sakit yang tidak memungkinkan baginya sujud kecuali dengan demikian maka
mencukupi
v Meletakkan
sebagian dahinya dengan terbuka (bila didahinya terdapat ishabah (serban, atau
ikat kepala, atau perban) yang menghalangi dahinya maka tidak sah kecuali bila
terdapat luka yang bila dihilangkan akan terdapati masyaqqah (kesulitan)
yang teramat sangat maka sah.
v Dan harus
dengan menekankan dahinya (bukan anggota lainnya) pada tempat shalatnya sekira
didahinya terasakan berat
v Meletakkan
sebagian kedua lututnya
v Meletakkan
sebagian perut telapak tangannya (perut tapak tangan dan perut jemarinya)
v Meletakkan
sebagian perut jemari kakinya (bukan anggota lainnya seperti tepi, ujung jemari
dan perut telapak kaki).
وَكَمَا
يَجِبُ السُّجُودُ عَلَى بَعْضُ جَبْهَتِهِ يَجِبُ عَلَى بَعْضٌ ركبتيه و بَعْضٌ (
بَطْنٌ كَفِيه ) مِنَ الرَّاحَةِ وَبُطونُ الْأَصابِعِ دُونَ مَا عَدَاهُمَا ( و )
بَعْضُ بَطْنٍ ( أَصابِعُ قَدَمِيِهِ )( لِقَوَّلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيه
وَسَلَّمَ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أُعْظِمُ عَلَى الْجَبْهَةِ
وَالْيَدَيْنِ وَالرَّكْبَتَيْنِ وَأَطْرافُ الْقَدَمَيْنِ )[4]
Dan
sebagaimana wajibnya sujud dengan (meletakkan) sebagian dahinya wajib juga
dengan sebagian kedua lututnya, sebagian perut kedua telapak tangannya (baik
telapak tangan dan perut jemari-jemarinya bukan selain keduanya), sebagian
perut jemari telapak kakinya berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw “aku
diperintahkan untuk bersujud dengan menggunakan 7 anggota badan yaitu dahi,
kedua tangan, dua lutut, ujung kedua telapak kaki”.
Adapun
sehelai rambut yang menempel pada dahi, pernyataan ini buat kaum hawa karena
rambut bagi mereka saat shalat adalah ‘aurat tidak untuk pria.
فَائِدَةٌ
( قَالَ النَّوَوِيُّ فِي الأذكار وَرَوِيَّنَا فِي كِتَابِ اِبْنِ السِّنِّيِ
عَنْ أُنْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْه كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيه
وَسَلَّمُ إِذَا قَضَى صَلاَتَهُ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيدِهِ الْيُمْنَى ثَمَّ قَالَ
أَشْهَدُ أَنَّ لَا إلَهٌ إلّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ اللَّهُمُّ أَذْهَبُ
عَنِْي الْهَمُّ وَالْحَزْنُ اه)[5]
(Faedah) Imam Nawawi
berkata dalam kitab al-Aẓkār : Aku melihat dalam kitab Imam Ibnu
Sinni dari riwayat sahabat Anas bin Malik Ra dia berkata “adalah Rasulullah Saw
saat usai shalatnya mengusap wajah dengan tangan kanan beliau seraya berdo’a “aku
bersaksi tiada Tuhan selain Allah Yang Pengasih dan Penyayang, Ya Allah
hilangkan kesedihan dan kegelisahan dariku”.
فَائِدَةٌ
: رَوَى اِبْنُ مَنْصُورٍ : أَنَّه كَانَ إِذَا قَضَى صَلاَتَهُ مَسْحِ جَبْهَتِهِ
بِكَفِّهِ الْيُمْنَى ثَمَّ أَمَرِّهَا عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى يَأْتِيَ بِهَا
عَلَى لِحْيَتِهِ الشَّرِيفَةِ وَقَالً :" بِسْم اللَّهِ الَّذِي لَا إلَهَ
إلّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ ، اللَّهُمُّ
أَذْهَبُ عَنِْي الْهَمُّ وَالْحَزْنُ وَالْغَمَّ ، اللَّهُمُّ بِحَمْدِكَ
اِنْصَرَفْتِ ، وَبِذَنْبِيٍ اِعْتَرَفْتِ ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرٍّ مَا
اِقْتَرَفْتِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ جَهْدِ بَلاءِ الدُّنْيا وَعَذَابُ الْآخِرَةِ[6]
(Faedah)
Ibnu Manṣur meriwayatkan bahwa beliau saat usai shalat mengusap dahi dengan
telapak tangan kanan kemudian beliau gerakkan kearah wajah hingga sampai pada
jenggotnya yang mulia seraya berdo’a “dengan menyebut Asma Allah yang tiada
Tuhan selainNya, Yang Mengetahui yang Ghaib dan nyata Yang Pengasih dan
Penyayang, Ya Allah hilangkan kesedihan, kegelisahan dan kesusahan dariku, Ya
Allah dengan memujiMu aku berpaling (selesai dari shalat), dengan dosaku aku
mengakui, aku berlindung kepadaMu dari kejelekan yang telah aku perbuat dan aku
berlindung kepadaMu dari keadaan berat dunia dan siksa akhirat”.
وَلَوْ
سَجَدَ عَلَى شَيْءٍ فِي مَوْضِعِ سُجُودِهِ كَوَرِقَةٍ فَاِلْتَصَقْتِ
بِجَبْهَتِهِ وَاِرْتَفَعْتِ مَعَه وَسُجِدَ عَلَيهَا ثَانِيَا ضَرٍّ وَإِنَّ
نَحَاهَا ثَمَّ سُجَّدٍ لَمْ يَضُرْ [7]
Bila
seseorang sujud pada secarik kertas ditempat sujudnya kemudian menempel pada
dahinya dan terangkat bersamanya dan ia sujud padanya untuk yang kedua kalinya
maka berbahaya tapi bila ia menyingkirkannya dan kemudian ia sujud maka tidak
bahaya.
وَلَوْ سَجَدَ عَلَى شَيْءٍ فِي مَوْضِعِ سُجُودِهِ
كَوَرَقَةٍ فَالْتَصَقَتْ بِجَبْهَتِهِ وَارْتَفَعَتْ مَعَهُ وَسَجَدَ عَلَيْهَا
ثَانِيًا ضَرَّ ، وَإِنْ نَحَاهَا ثُمَّ سَجَدَ لَمْ يَضُرَّ .الشَّرْحُ قَوْلُهُ : ( ضَرَّ ) أَيْ تَبْطُلُ
صَلَاتُهُ إنْ كَانَ عَامِدًا عَالِمًا وَإِلَّا فَلَا تَبْطُلُ [8]
Bila
seseorang sujud pada secarik kertas ditempat sujudnya kemudian menempel pada
dahinya dan terangkat bersamanya dan ia sujud padanya untuk yang kedua kalinya
maka berbahaya tapi bila ia menyingkirkannya dan kemudian ia sujud maka tidak
bahaya. (keterangan maka berbahaya) artinya batal shalatnya bila ia sengaja dan
tahu bila tidak maka tidak batal.
Ø Bagaimana
dengan peci yang jatuh di tempat sujud apakah harus dipindah juga?
Sekiranya
ia menghalangi pertemuan dahi dengan tempat sujud, bila tidak menghalangi
biarkan saja karena mengambil songkok yang terjatuh saat shalat hukumnya makruh
sebab dapat meniadakan kekhusyuan
قَالَ
الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ لَا يُرِدْ رِدَاءَهُ إِذَا سَقَطٍ أَيُّ إلّا
لِعُذْرٍ وَمِثْلُه الْعِمَامَةَ وَنَحْوَهَا …( قُوِّلَهُ قَالً الْغَزَالِيُّ
فِي الْإِحْيَاءِ لَا يُرِدْ إلخ ) أَيُّ فَلَوْ رَدَّهُ كُرِهَ لِأَنَّه
يُنَافِيَ الْخُشُوعَ وَقَوْلَهُ أَيُّ إلّا لِعَذَرَ أَيٌّ كَشِدَّةِ حُرٍّ أَوْ
بُرْدً أَوْ خَوْفُ ضَيَاعٍ لَوْ تَرَكَهُ مُلْقى فِي الْأرْضِ ( قَوْلُهُ
وَمِثْلُه ) أَيُّ الرِّدَاءِ وَقَوْلَهُ وَنَحْوِهَا أَيْ نَحْوَ الْعِمَامَةِ
كَالْطَّيْلَسَانِ وَالطّاقِيَّةَ[9]
Berkata
al-Gazali dalam Kitab al-Iḥyā’ “janganlah mengambil selendangnya saat
jatuh kecuali saat ada uzur begitu juga serban dan sejenisnya”. (Keterangan; janganlah
mengambil) bila ia mengambilnya hukumnya makruh karena dapat meniadakan
kekhusyuan. (Keterangan; kecuali saat ada uzur) seperti terlalu panas, terlalu
dingin, khawatir hilang saat ia tidak mengambilnya sebab dianggap telah dibuang
diatas tanah. (Keterangan; dan sejenisnya) seperti jubah hijau dan jenis
penutup kepala semacam peci.
C. Bacaan dalam
sujud
Bacaan sujud yang dituntun oleh Nabi Saw juga
banyak macamnya, diantaranya sebagai berikut :
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ: صَلَّيْتُ
مَعَ النَّبِيّ ص.م ذَاتَ لَيْلَةٍ. فَافْتَتَحَ اْلبَقَرَةَ … ثُمَّ رَكَعَ
فَجَعَلَ يَقُوْلُ: سُبْحَانَ رَبّيَ اْلعَظِيْمِ. فَكَانَ رُكُوْعُهُ نَحْوًا
مِنْ قِيَامِهِ. ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، ثُمَّ قَامَ طَوِيْلاً
قَرِيْبًا مِمَّا رَكَعَ. ثُمَّ سَجَدَ فَقَالَ: سُبْحَانَ رَبّيَ اْلاَعْلَى.
فَكَانَ سُجُوْدُهُ قَرِيْبًا مِنْ قِيَامِهِ. مسلم[10]
Artinya: Dari Hudzaifah, ia berkata
: Saya pernah shalat bersama Nabi Saw. pada suatu malam (setelah membaca al-Fatihah)
maka beliau memulai dengan membaca surat al-Baqarah… kemudian beliau ruku’
dan membaca “Subḥāna rabbiyal-'aẓīm”. Dan ruku’ beliau lamanya
seperti berdirinya. Kemudian beliau membaca Sami'allāhu liman ḥamidah,
kemudian berdiri lama, hampir sama dengan lama ruku’nya. Kemudian beliau sujud
dan membaca “Subḥāna rabbiyal a’lā”, dan adalah sujud beliau hampir
sama dengan lama berdirinya.
Adapun bacan dalam sujud yang masyhur yaitu: سبحان ربي الأعلى وبحمد ه
D. Penutup
Dari
nukilan di atas dapat disimpulkan bahwa bersujud dengan menggunakan 7 anggota
badan yaitu dahi, kedua tangan, dua lutut, ujung kedua telapak kaki”. Dan tidak
boleh ada sesuatu yang menempel pada dahi tatkala sujud.
[2] al-Bakri Muhammad Syaṭa
ad-Dimyaṭi, I’ānah, Juz. I, h. 163.
[3] Ibid,
h. 162-164. Lihat, Khatib Syarbaini, al-Iqna’ fi al-Fāḍ Abi Syujā', Juz.
I
(Beirut: Dār al-Kutub
al-Ilmiyah,
t.t), h. 124.
[4] Nawawi al-Bantani, Nihayah, Juz.
I, h. 69.
[5] al-Bakri Muhammad Syaṭa
ad-Dimyaṭi, I’ānah, Juz. I, h. 184.
[6] Sayyed Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bugyah al-Murtasyidin, Juz. I (Semarang:
Usaha Keluarga, t.t.), h. 99.
[7] Khatib
Syarbaini, Iqna’, Juz. I, h.
136.
[8] Ibrahim Bujairumi, Ḥasyiah al-Bujairimi, Juz IV, h. 258 .
[9] al-Bakri Muhammad Syaṭa ad-Dimyaṭi,
I’ānah, Juz. I, h. 194.
[10] Imam
Muslim, Ṡaḥīḥ, Juz.
I, h. 536.
0 comments:
Post a Comment