Home » » Pilar Shalat Yang Ke Tujuh (Sujud)

Pilar Shalat Yang Ke Tujuh (Sujud)


A.  Pendahuluan
Sujud termasuk rukun di dalam shalat yang dilakukan setelah i’tidal dengan sempurna. Ketika turun untuk sujud disertai dengan membaca takbir dan tanpa mengangkat kedua tangan. Kita letakkan dua lutut terlebih dahulu, lalu disusul dengan meletakkan dua tapak tangan, kemudian dahi dan hidung. Jari-jari tangan dirapatkan dan siku direnggangkan (dijauhkan) dari rusuk serta jari-jari kaki dipancatkan ke bumi. Jadi sujud ini dilakukan oleh dahi dan hidung, kedua tapak tangan, kedua lutut dan kedua ujung jari-jari kaki. Di dalam tulisan ini kita akan memaparkan tentang kaifiat sujud. Tujuannya adalah untuk menggambarkan dan member pemahaman kepada orang-orang yang melaksanakan shalat tentang sujud yang benar.


B.  Sujud dan Kaifiatnya
Sabda Rasulullah Sawt:
عَنْ اَبِى بَكْرٍ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ اَنَّهُ سَمِعَ اَبَا هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِذَا قَامَ اِلَى الصَّلاَةِ يُكَبّرُ حِيْنَ يَقُوْمُ. ثُمَّ يُكَبّرُ حِيْنَ يَرْكَعُ. ثُمَّ يَقُوْلُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ حِيْنَ يَرْفَعُ صُلْبَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ. ثُمَّ يَقُوْلُ وَ هُوَ قَائِمٌ: رَبَّنَا وَ لَكَ اْلحَمْدُ، ثُمَّ يُكَبّرُ حِيْنَ يَهْوِى سَاجِدًا. ثُمَّ يُكَبّرُ حِيْنَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ. ثُمَّ يُكَبّرُ حِيْنَ يَسْجُدُ. ثُمَّ يُكَبّرُ حِيْنَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ. ثُمَّ يَفْعَلُ مِثْلَ ذلِكَ فِى الصَّلاَةِ كُلّهَا حَتَّى يَقْضِيَهَا. وَ يُكَبّرُ حِيْنَ يَقُوْمُ مِنَ الْمَثْنَى بَعْدَ الْجُلُوْسِ. ثُمَّ يَقُوْلُ اَبُوْ هُرَيْرَةَ: اِنّى لاَشْبَهُكُمْ صَلاَةً بِرَسُوْلِ اللهِ ص. (رواه مسلم)[1]
Artinya:  Dari Abu Bakar bin Abdur Rahman, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah berkata, “Adalah Rasulullah Saw. apabila berdiri shalat, beliau bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika (hendak) ruku', kemudian membaca Sami'allāhu... ketika mengangkat tulang belakangnya dari ruku', kemudian membaca Rabbanā... dalam keadaan berdiri, kemudian bertakbir ketika tunduk untuk bersujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya (dari sujud), kemudian bertakbir ketika bersujud (yang kedua), kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya dari sujud. Kemudian beliau melakukan yang demikian itu pada semua shalatnya hingga beliau menyelesaikan shalat itu. Dan beliau bertakbir ketika berdiri dari reka'at kedua setelah duduk (at-tahiyat awwal)”. Kemudian Abu Hurairah berkata, “Sesungguhnya shalatku lebih menyerupai dengan shalat Rasulullah Saw. daripada kalian”.
Deskripsi hadis ini menunjukkan bahwa cara sujud yang benar adalah meletakkan dua lutut terlebih dahulu, kemudian dua tangan, lalu dahi dan hidungnya.

Ø   Sahkah sujud dengan kerikil menempel pada dahi dan atau sehelai rambut?
Ketika selesai shalat tatkala mengusap wajah ternyata didahi ada kerikil yang menempel. Apakah shalatnya harus diulang? Shalatnya tidak diulang karena yang menjadi ketentuan saat sujud adalah sebagian anggota dari dahinya telah menempel pada tempat sujudnya. Keterangan diambil dari :
وَلَوْ سُجَّدً عَلَى شَيْءٍ فَاِلْتَصَقَ بِجَبْهَتِهِ صَحَّ وَوَجَبَ إِزَالَتُهُ لِلسُّجُودِ الثَّانِي وَقَوْلُهُ فَاِلْتَصَقَ بِجَبْهَتِهِ قَالٍ ع ش وَمِنْه التُّرَابَ حَيْثُ مَنْعِ مُبَاشِرَةٍ جَمِيعَ الْجَبْهَةِ مَحَلُّ السُّجُودِ [2]
Bila ia sujud pada suatu benda kemudian menempel pada dahinya maka sujudnya sah, dan wajib menghilangkannya pada sujud yang kedua (sujud berikutnya). (Keterangan; maka menempel pada dahinya) termasuk debu bila dapat mencegah bertemunya ‘semua bagian dahinya’ pada tempat sujudnya.
al-Bakri Muhammad Syaṭa ad-Dimyaṭi berkata di dalam karya monumentalnya I’ānah:
وَسَابَعُهَا ( سُجُودُ مرَّتَيْنٍ ) كُلُّ رَكْعَةٍ ...( مَعَ تَنْكِيسٍ ) بِأَنْ تَرْتَفِعَ عَجِيزَتَهُ وَمَا حَوْلَهَا عَلَى رَأْسِهِ وَمَنْكِبِيِهِ لِلْاِتِّبَاعِ فَلَوْ اِنْعَكَسَ أَوْ تَسَاوِيًا لَمْ يُجْزِئْهُ نَعَمْ إِنَّ كَانَ بِهِ عِلَّةً لَا يُمْكِنْهُ مَعَهَا السُّجُودَ إلّا كَذَلِكً أَجْزَأَهُ ( بِوَضْعٍ بَعْضُ جَبْهَتِهِ بِكَشْفٍ ) أَيْ مَعَ كَشْفٍ فَإِنَّ كَانَ عَلَيهَا حائِلً كَعِصَابَةٍ لَمْ يَصِحُّ إلّا أَنْ يَكُونُ لِجِرَاحَةِ وَشَقٍ عَلَيه إِزَالَتُهُ مَشَقَّةِ شَدِيدَةٍ فَيَصِحُّ ( و ) مَعً ( تَحَامَلَ ) بِجَبْهَتِهِ فَقَطْ عَلَى مَصَلَاهُ بِأَنَّ ينال ثُقِلَ رَأْسُهُ خِلاَفًا لِلْإمَامِ ( و ) وُضِعَ بَعْضٌ ( ركبتيه و ) بَعْضٌ ( بَطْنٌ كَفِيه ) مِنَ الرَّاحَةِ وَبُطونُ الْأَصابِعِ ( و ) بَعْضُ بَطْنٍ ( أَصابِعُ قَدَمِيِهِ ) دُونَ مَا عَدَا ذَلِكً كَالْْحَرْفِ وَأَطْرافُ الْأَصابِعِ وَظُهْرَهُمَا[3]
Dan yang ke 7 (dari rukun shalat) adalah sujud dua kali dalam setiap raka’at dengan cara :
v Menundukkan kepala (dengan cara mengangkat pantat dan anggota tubuh sekitarnya diatas kepala dan kedua pundaknya karena itba’ pada Nabi, bila dibalik (kepala dan pundak diatas pantat) atau sejajar maka tidak mencukupi sujudnya kecuali bila ia sakit yang tidak memungkinkan baginya sujud kecuali dengan demikian maka mencukupi
v Meletakkan sebagian dahinya dengan terbuka (bila didahinya terdapat ishabah (serban, atau ikat kepala, atau perban) yang menghalangi dahinya maka tidak sah kecuali bila terdapat luka yang bila dihilangkan akan terdapati masyaqqah (kesulitan) yang teramat sangat maka sah.
v Dan harus dengan menekankan dahinya (bukan anggota lainnya) pada tempat shalatnya sekira didahinya terasakan berat
v Meletakkan sebagian kedua lututnya
v Meletakkan sebagian perut telapak tangannya (perut tapak tangan dan perut jemarinya)
v Meletakkan sebagian perut jemari kakinya (bukan anggota lainnya seperti tepi, ujung jemari dan perut telapak kaki).

وَكَمَا يَجِبُ السُّجُودُ عَلَى بَعْضُ جَبْهَتِهِ يَجِبُ عَلَى بَعْضٌ ركبتيه و بَعْضٌ ( بَطْنٌ كَفِيه ) مِنَ الرَّاحَةِ وَبُطونُ الْأَصابِعِ دُونَ مَا عَدَاهُمَا ( و ) بَعْضُ بَطْنٍ ( أَصابِعُ قَدَمِيِهِ )( لِقَوَّلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيه وَسَلَّمَ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أُعْظِمُ عَلَى الْجَبْهَةِ وَالْيَدَيْنِ وَالرَّكْبَتَيْنِ وَأَطْرافُ الْقَدَمَيْنِ )[4]
Dan sebagaimana wajibnya sujud dengan (meletakkan) sebagian dahinya wajib juga dengan sebagian kedua lututnya, sebagian perut kedua telapak tangannya (baik telapak tangan dan perut jemari-jemarinya bukan selain keduanya), sebagian perut jemari telapak kakinya berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw “aku diperintahkan untuk bersujud dengan menggunakan 7 anggota badan yaitu dahi, kedua tangan, dua lutut, ujung kedua telapak kaki”.
Adapun sehelai rambut yang menempel pada dahi, pernyataan ini buat kaum hawa karena rambut bagi mereka saat shalat adalah ‘aurat tidak untuk pria.
فَائِدَةٌ ( قَالَ النَّوَوِيُّ فِي الأذكار وَرَوِيَّنَا فِي كِتَابِ اِبْنِ السِّنِّيِ عَنْ أُنْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْه كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيه وَسَلَّمُ إِذَا قَضَى صَلاَتَهُ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيدِهِ الْيُمْنَى ثَمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنَّ لَا إلَهٌ إلّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ اللَّهُمُّ أَذْهَبُ عَنِْي الْهَمُّ وَالْحَزْنُ اه)[5]
(Faedah) Imam Nawawi berkata dalam kitab al-Aẓkār : Aku melihat dalam kitab Imam Ibnu Sinni dari riwayat sahabat Anas bin Malik Ra dia berkata “adalah Rasulullah Saw saat usai shalatnya mengusap wajah dengan tangan kanan beliau seraya berdo’a “aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah Yang Pengasih dan Penyayang, Ya Allah hilangkan kesedihan dan kegelisahan dariku”.
فَائِدَةٌ : رَوَى اِبْنُ مَنْصُورٍ : أَنَّه كَانَ إِذَا قَضَى صَلاَتَهُ مَسْحِ جَبْهَتِهِ بِكَفِّهِ الْيُمْنَى ثَمَّ أَمَرِّهَا عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى يَأْتِيَ بِهَا عَلَى لِحْيَتِهِ الشَّرِيفَةِ وَقَالً :" بِسْم اللَّهِ الَّذِي لَا إلَهَ إلّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ ، اللَّهُمُّ أَذْهَبُ عَنِْي الْهَمُّ وَالْحَزْنُ وَالْغَمَّ ، اللَّهُمُّ بِحَمْدِكَ اِنْصَرَفْتِ ، وَبِذَنْبِيٍ اِعْتَرَفْتِ ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرٍّ مَا اِقْتَرَفْتِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ جَهْدِ بَلاءِ الدُّنْيا وَعَذَابُ الْآخِرَةِ[6]
(Faedah) Ibnu Manṣur meriwayatkan bahwa beliau saat usai shalat mengusap dahi dengan telapak tangan kanan kemudian beliau gerakkan kearah wajah hingga sampai pada jenggotnya yang mulia seraya berdo’a “dengan menyebut Asma Allah yang tiada Tuhan selainNya, Yang Mengetahui yang Ghaib dan nyata Yang Pengasih dan Penyayang, Ya Allah hilangkan kesedihan, kegelisahan dan kesusahan dariku, Ya Allah dengan memujiMu aku berpaling (selesai dari shalat), dengan dosaku aku mengakui, aku berlindung kepadaMu dari kejelekan yang telah aku perbuat dan aku berlindung kepadaMu dari keadaan berat dunia dan siksa akhirat”.
وَلَوْ سَجَدَ عَلَى شَيْءٍ فِي مَوْضِعِ سُجُودِهِ كَوَرِقَةٍ فَاِلْتَصَقْتِ بِجَبْهَتِهِ وَاِرْتَفَعْتِ مَعَه وَسُجِدَ عَلَيهَا ثَانِيَا ضَرٍّ وَإِنَّ نَحَاهَا ثَمَّ سُجَّدٍ لَمْ يَضُرْ [7]
Bila seseorang sujud pada secarik kertas ditempat sujudnya kemudian menempel pada dahinya dan terangkat bersamanya dan ia sujud padanya untuk yang kedua kalinya maka berbahaya tapi bila ia menyingkirkannya dan kemudian ia sujud maka tidak bahaya.
وَلَوْ سَجَدَ عَلَى شَيْءٍ فِي مَوْضِعِ سُجُودِهِ كَوَرَقَةٍ فَالْتَصَقَتْ بِجَبْهَتِهِ وَارْتَفَعَتْ مَعَهُ وَسَجَدَ عَلَيْهَا ثَانِيًا ضَرَّ ، وَإِنْ نَحَاهَا ثُمَّ سَجَدَ لَمْ يَضُرَّ .الشَّرْحُ  قَوْلُهُ : ( ضَرَّ ) أَيْ تَبْطُلُ صَلَاتُهُ إنْ كَانَ عَامِدًا عَالِمًا وَإِلَّا فَلَا تَبْطُلُ  [8]
Bila seseorang sujud pada secarik kertas ditempat sujudnya kemudian menempel pada dahinya dan terangkat bersamanya dan ia sujud padanya untuk yang kedua kalinya maka berbahaya tapi bila ia menyingkirkannya dan kemudian ia sujud maka tidak bahaya. (keterangan maka berbahaya) artinya batal shalatnya bila ia sengaja dan tahu bila tidak maka tidak batal.

Ø   Bagaimana dengan peci yang jatuh di tempat sujud apakah harus dipindah juga?
Sekiranya ia menghalangi pertemuan dahi dengan tempat sujud, bila tidak menghalangi biarkan saja karena mengambil songkok yang terjatuh saat shalat hukumnya makruh sebab dapat meniadakan kekhusyuan
قَالَ الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ لَا يُرِدْ رِدَاءَهُ إِذَا سَقَطٍ أَيُّ إلّا لِعُذْرٍ وَمِثْلُه الْعِمَامَةَ وَنَحْوَهَا …( قُوِّلَهُ قَالً الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ لَا يُرِدْ إلخ ) أَيُّ فَلَوْ رَدَّهُ كُرِهَ لِأَنَّه يُنَافِيَ الْخُشُوعَ وَقَوْلَهُ أَيُّ إلّا لِعَذَرَ أَيٌّ كَشِدَّةِ حُرٍّ أَوْ بُرْدً أَوْ خَوْفُ ضَيَاعٍ لَوْ تَرَكَهُ مُلْقى فِي الْأرْضِ ( قَوْلُهُ وَمِثْلُه ) أَيُّ الرِّدَاءِ وَقَوْلَهُ وَنَحْوِهَا أَيْ نَحْوَ الْعِمَامَةِ كَالْطَّيْلَسَانِ وَالطّاقِيَّةَ[9]
Berkata al-Gazali dalam Kitab al-Iḥyā’ “janganlah mengambil selendangnya saat jatuh kecuali saat ada uzur begitu juga serban dan sejenisnya”. (Keterangan; janganlah mengambil) bila ia mengambilnya hukumnya makruh karena dapat meniadakan kekhusyuan. (Keterangan; kecuali saat ada uzur) seperti terlalu panas, terlalu dingin, khawatir hilang saat ia tidak mengambilnya sebab dianggap telah dibuang diatas tanah. (Keterangan; dan sejenisnya) seperti jubah hijau dan jenis penutup kepala semacam peci.

C.  Bacaan dalam sujud
Bacaan sujud yang dituntun oleh Nabi Saw juga banyak macamnya, diantaranya sebagai berikut :

عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيّ ص.م ذَاتَ لَيْلَةٍ. فَافْتَتَحَ اْلبَقَرَةَ … ثُمَّ رَكَعَ فَجَعَلَ يَقُوْلُ: سُبْحَانَ رَبّيَ اْلعَظِيْمِ. فَكَانَ رُكُوْعُهُ نَحْوًا مِنْ قِيَامِهِ. ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، ثُمَّ قَامَ طَوِيْلاً قَرِيْبًا مِمَّا رَكَعَ. ثُمَّ سَجَدَ فَقَالَ: سُبْحَانَ رَبّيَ اْلاَعْلَى. فَكَانَ سُجُوْدُهُ قَرِيْبًا مِنْ قِيَامِهِ. مسلم[10]
Artinya:  Dari Hudzaifah, ia berkata : Saya pernah shalat bersama Nabi Saw. pada suatu malam (setelah membaca al-Fatihah) maka beliau memulai dengan membaca surat al-Baqarah… kemudian beliau ruku’ dan membaca “Subḥāna rabbiyal-'aẓīm”. Dan ruku’ beliau lamanya seperti berdirinya. Kemudian beliau membaca Sami'allāhu liman ḥamidah, kemudian berdiri lama, hampir sama dengan lama ruku’nya. Kemudian beliau sujud dan membaca “Subḥāna rabbiyal a’lā”, dan adalah sujud beliau hampir sama dengan lama berdirinya.
Adapun bacan dalam sujud yang masyhur yaitu:  سبحان ربي الأعلى وبحمد ه
D.  Penutup
Dari nukilan di atas dapat disimpulkan bahwa bersujud dengan menggunakan 7 anggota badan yaitu dahi, kedua tangan, dua lutut, ujung kedua telapak kaki”. Dan tidak boleh ada sesuatu yang menempel pada dahi tatkala sujud.




Footnot:
[1] Imam Muslim, Ṡaḥīḥ,  Juz. I,  h. 293.
[2] al-Bakri Muhammad Syaṭa ad-Dimyaṭi, I’ānah, Juz. I, h. 163.
[3] Ibid, h. 162-164. Lihat, Khatib Syarbaini, al-Iqna’ fi al-Fāḍ Abi Syujā', Juz. I (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, t.t), h. 124.
[4] Nawawi al-Bantani,  Nihayah, Juz. I, h. 69.
[5] al-Bakri Muhammad Syaṭa ad-Dimyaṭi, I’ānah, Juz. I, h. 184.
[6] Sayyed Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bugyah al-Murtasyidin, Juz. I (Semarang: Usaha Keluarga, t.t.), h. 99.
[7]  Khatib Syarbaini, Iqna’, Juz. I, h. 136.
[8] Ibrahim Bujairumi, Ḥasyiah al-Bujairimi, Juz IV, h. 258 .
[9] al-Bakri Muhammad Syaṭa ad-Dimyaṭi, I’ānah, Juz. I, h. 194.
[10] Imam Muslim, Ṡaḥīḥ,  Juz. I,  h. 536.

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.