Home » » Tugas Dan Tanggung Jawab Imam Shalat

Tugas Dan Tanggung Jawab Imam Shalat


     A.  Meluruskan shaf sebelum shalat
Mayoritas ulama' berpendapat bahwa meluruskan barisan ketika mengerjakan shalat jama'ah hukumnya sunat, yang dimaksud meluruskan barisan disini adalah posisi antara satu makmum dengan makmum lain yang menempati barisan yang sama lurus, tidak ada makmum yang posisinya lebih maju dari makmum lainnya, selain itu antara pundak dan kedua telapak kaki satu makmum dengan makmum yang lainnya saling menempel sehingga tak ada celah pada barisan tersebut.
Dan disunatkan bagi imam untuk memerintahkan agar para makmum yang mengikuti shalat jum'at meluruskan barisan sebelum shalat jama'ah dimulai sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.[1] Dalam beberapa hadis diriwayatkan Nabi memerintahkan para jama'ah yang hadir untuk meluruskan barisan mereka dengan mengatakan :
سَوُّوا صُفُوفَكُمْ، فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاَة[2]
Artinya:  Luruskan barisan-barisan kalian, karena sesungguhnya meluruskan barisan adalah bagian dari mendirikan shalat.
an-Nu’man meriwayatkan :
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص.م: يَقُوْلُ: لَتُسَوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ اَوْ لَيُخَالِفَّنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ. (رواه مسلم)[3]
Artinya:  Dari an-Nu'man bin Basyir, ia berkata : Saya pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, "Sungguh kalian akan meratakan shaff kalian, atau (jika tidak mau) Allah akan merubah diantara wajah-wajah kalian .
Apabila barisan shaf depan masih terdapat tempat kosong, dia sunnah menerobos masuk ke dalam barisan shaf. Namun jika shaf depannya rapat, disunnahkan menarik jama’ah di depannya untuk membuat barisan shaf baru. Dan bagi jama’ah yang ditarik tersebut sunnah ikut mundur.
Ibrahim al-Bujairimi mengatakan dalam hasyiahnya:
وَكُرِهَ لِمَأْمُومٍ انْفِرَادٌ عَنْ صَفٍّ مِنْ جِنْسِهِ بَلْ يَدْخُلُ الصَّفَّ إنْ وَجَدَ سَعَةً وَلَهُ أَنْ يَخْرِقَ الصَّفَّ الَّذِي يَلِيْهِ فَمَا فَوْقَهُ إلَيْهَا لِتَقْصِيرِهِمْ بِتَرْكِهَا وَلاَ يَتَقَيَّدُ خَرْقُ الصُّفُوفِ بِصَفَّيْنِ كَمَا زَعَمَهُ بَعْضُهُمْ وَإِنَّمَا يَتَقَيَّدُ بِهِ تَخَطِّي الرِّقَابِ اْلآتِيْ فِي الْجُمُعَةِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ سَعَةً أَحْرَمَ ثُمَّ بَعْدَ إحْرَامِهِ جَرَّ إلَيْهِ شَخْصًا مِنْ الصَّفِّ لِيَصْطَفَّ مَعَهُ وَسُنَّ لِمَجْرُوْرِهِ مُسَاعَدَتُهُ قَوْلُهُ ( مُسَاعَدَتُهُ ) أَيْ لِيَنَالَ مَعَهُ فَضْلَ الْمُعَاوَنَةِ عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى مَعَ حُصُولِ ثَوَابِ صَفِّهِ الَّذِيْ كَانَ فِيهِ ِلأَنَّهُ لَمْ يَخْرُجْ مِنْهُ إلاَ لِعُذْرٍ اهـ حَجّ و س ل[4]
Sejatinya masalah ini teraktualisasi dan terealisasi sesuai dengan tuntunan ajaran Islam sekalipun sunat, karena merapatkan shaf dalam shalat berjama’ah ada nilai-nilainya tersendiri, bukankah kalau urusan dunia kita ingin yang sempurna? kenapa urusan ibadah tidak? (bak ibadah bek meusukat kuah meubileung asoe). Bahkan menurut imam Ramli shaf tidak teratur tidak mengurangi fadhilah jama’ah hanya menghilangkan keutamaan shaf saja. Sebagaimana dijelaskan pada ibarat kitabnya berikut:
وَسُئِلَ الشِّهَابُ الرَّمْلِيُّ عَمَّا أَفْتَى بِهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعَصْرِ أَنَّهُ إذَا وَقَفَ صَفٌّ قَبْلَ إتْمَامِ مَا أَمَامَهُ لَمْ تَحْصُلْ لَهُ فَضِيلَةُ الْجَمَاعَةِ هَلْ هُوَ مُعْتَمَدٌ أَوْ لاَ فَأَجَابَ بِأَنَّهُ لاَ تَفُوتُهُ فَضِيلَةُ الْجَمَاعَةِ بِوُقُوفِهِ الْمَذْكُورِ وَفِي ابْنِ عَبْدِ الْحَقِّ مَا يُوَافِقُهُ وَعِبَارَتُهُ لَيْسَ مِنْهُ كَمَا يُتَوَهَّمُ صَلاَةُ صَفٍّ لَمْ يَتِمَّ مَا قَبْلَهُ مِنْ الصُّفُوفِ فَلاَ تَفُوْتُ بِذَلِكَ فَضِيلَةُ الْجَمَاعَةِ وَإِنْ فَاتَتْ فَضِيلَةُ الصَّفِّ انْتَهَى وَعَلَيْهِ فَيَكُونُ هَذَا مُسْتَثْنًى مِنْ قَوْلِهِمْ مُخَالَفَةُ السُّنَنِ الْمَطْلُوبَةِ فِي الصَّلاَةِ مِنْ حَيْثُ الْجَمَاعَةُ مَكْرُوهَةٌ مُفَوِّتَةٌ لِلْفَضِيْلَةِ اهـ[5]
Bukankah Rasulullah Saw bersabda?
أَقِيْمُوْا الصُّفُوْفَ وَحَاذُوْا بَيْنَ الْمَنَاكِيَ وَسَدُّوْا الخَلَلَ، وَلَيِّنُوْا بِأَيْدِيْ إِخْوَانِكُمْ وَلاَ تَذَرُوْا فُرُجَاتِ لِلشَّيْطَانِ، وَ مَنْ وَصَلَ صَفَّا وَصَلَهُ اللَّه وَ مَنْ قَطَعَ صَفَّا قَطَعَهُ اللَّهُ
Artinya: Luruskanlah shaf rapatkan antara bahu-bahu, isilah sela-sela yang kosong dan lenturkanlah dengan tangan-tangan saudara kamu, janganlah kamu meninggalkan tempat kosong untuk syaithan, barang siapa yang menyambung shaf maka Allah akan menyambungnya, dan barang siapa yang memutuskan shaf, maka Allah akan memutuskannya. ( HR Ahmad ).
وَمَا مَنْ خُطْوَةِ أَحَيَّ إِلَى اللَّه مَنْ خُطْوَةٍ يَمْشِيْهَا الأْعَبْدُ يَصِلُ بِهَا صَفَّا
Artinya: Tidak ada langkah yang dilalui oleh hamba yang lebih disukai Allah melebihi langkah untuk menyambung shaf (barisan). (HR Abu Dawud, )

B.   Tugas imam dalam shalat berjama’ah
a.    Imam supaya menyaringkan Takbiratul Ihram, agar makmum mengetahui bahwa imam telah memulai shalat.
b.    Menyaringkan/ menjiharkan bacaan al-Fatihah dan surat/ ayat al-Qur'an pada shalat Magrib, 'Isya dan Shubuh, serta shalat-shalat berjama'ah yang dituntunkan membaca jahr yang lain.
c.    Menyaringkan takbir-takbir serta bacaan i'tidal, dan salam sehingga makmum mengetahui adanya perubahan-perubahan dari rukun ke rukun lainnya.
d.   Menjaga kesempurnaan shalat tersebut, baik bacaannya yang teratur, tidak tergesa-gesa, tuma'ninahnya, dan terutama kekhusyu'annya yang merupakan jiwa dari shalat itu, ini semua mengingat bahwa imam menjadi pemimpin dan yang bertanggung jawab atas makmumnya.
Perlu pula mendapat perhatian bahwa hendaknya seorang imam itu mengerti benar keadaan makmumnya, karena mengingat bahwa mungkin diantara mereka ada yang telah lanjut usia atau lemah ataupun orang-orang yang mempunyai keperluan. Maka bila demikian hendaknya imam berlaku bijaksana, yaitu tidak memanjangkan bacaan atau memilih surat yang panjang-panjang, tetapi mencukupkan dengan membaca bacaan yang ringan pada setiap rukunnya tanpa mengurangi ketertiban dan tuma'ninah shalat itu sendiri.
عَن اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص.م قَالَ: اِذَا اَمَّ اَحَدُكُمُ النَّاسَ فَلْيُخَفّفْ فَاِنَّ فِيْهِمُ الصَّغِيْرَ وَ اْلكَبِيْرَ وَ الضَّعِيْفَ وَ اْلمَرِيْضَ، فَاِذَا صَلَّى وَحْدَهُ فَلْيُصَلّ كَيْفَ شَآءَ. (رواه مسلم)[6]
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a, sesungguhnya Nabi Saw bersabda, "Apabila seseorang dari kamu mengimami orang banyak, hendaklah ia meringankannya karena diantara mereka ada yang anak kecil, ada yang sudah tua, ada yang lemah, dan ada pula yang sakit, akan tetapi apabila ia shalat sendirian, maka bolehlah ia shalat sebagaimana ia suka".
عَن اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: اِذَا صَلَّى اَحَدُكُمُ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفّفْ فَاِنَّ فِى النَّاسِ الضَّعِيْفَ وَ السَّقِيْمَ وَ ذَا اْلحَاجَةِ. (رواه مسلم)[7]
Artinya: Dari Abu Hurairah ia berkata : Rasulullah Saw. bersabda: "Apabila seseorang diantara kalian shalat mengimami orang banyak, hendaklah ia meringankannya, karena diantara mereka ada yang lemah, ada yang sakit, dan ada yang mempunyai keperluan".

v  Memberi Waktu Untuk Menunggu Makmum Terlambat
Misalkan, seseorang sedang salat zuhur/ ‘asar sendirian kemudian dia tahu ada orang yang makmum kepadanya. Posisinya sudah selesai baca fatihah dan surat pendek (hampir ruku’) kemudian seseorang bermakmum kepadanya. Pertanyaannya, salahkah jika ia memberi sedikit waktu kepada orang tersebut untuk paling tidak baca fatihah? Atau dia langsung saja melanjutkan gerakan salat yang dimamaminya yaitu ke ruku’?
Zanuddin al-Malibari mengatakan :
وكره له تطويل وإن قصد لحوق آخرين[8]
“Makruh baginya (imam) memperpanjang shalatnya, meskipun bertujuan supaya orang lain bisa menyusulnya.
ويسن لإمام ومنفرد انتظار داخل محل الصلاة مريدا الاقتداء به في الركوع والتشهد الأخير لله تعالى بلا تطويل وتمييز بين الداخلين ولو لنحو علم وكذا في السجدة الثانية ليلحق موافق تخلف لإتمام فاتحة لا خارج عن محلها وأن صغر المسجد ولا داخل يعتاد البطء وتأخير الإحرام إلى الركوع بل يسن عدمه زجرا له[9]
“Sunnah menanti orang yang baru masuk shalat yang bermaksud untuk bermakmum di saat ruku’ dan tasyahud akhir, juga pada sujud kedua agar makmum muwafik bisa menyempurnakan fatihahnya, hal ini dilakukan dengan syarat hanya karena Allah ta'ala, tidak boleh memanjang-manjangkan dan juga membeda-bedakan orang yang masuk. Tidak sunnah menanti orang yang di luar tempat shalat, meski masjidnya kecil, juga orang yang memang kebiasaan lambat dan mengakhirkan takbiratul ihram sampai waktunya ruku’, bahkan tidak menantinya adalah sunnah untuk memberi palajaran baginya.”
Bagaimana bila Posisi imam sudah selesai membaca al-Fatihah dan surat pendek (hampir ruku’)? sementara ibaratnya:
في الركوع والتشهد الأخير
“Pada kasus diatas, maka imam melanjutkan saja ruku’nya, dan menunggu sekedarnya (sampai sekiranya makmum bisa mengikuti ruku’nya).”

v  Imam Hendaknya Memperhatikan Kemaslahatan Makmum
Menjadi imam shalat waktu melaksanakan shalat apakah juga memperhatikan kemaslahatan ma'mumnya/ bagaimana ? Dalam shalat berjama’ah, Imam hendaknya mengetahui kondisi makmumnya, bila makmumnya pendatang yang ikut berjama’ah di masjid tersebut, para pegawai buruh, para sahaya dan wanita-wanita yang telah bersuami janganlah memperpanjang bacaan-bacaan shalatnya, bila makmumnya memang orang-orang yang tertentu maka sunnah baginya memperpanjang bacaan shalatnya.
)مسألة : ك( : يسن التطويل للمنفرد كإمام محصورين بمسجد غير مطروق لم يطرأ غيرهم ، وقد رضي الجميع لفظاً بتطويله ولم يتعلق بهم حق كأجراء عين على عمل ناجز وأرقاء ومزوّجات حسبما أراد ما لم يضق الوقت فحينئذ يقتصر في دعاء الافتتاح على : وجهت وجهي إلى وأنا من المسلمين ، ثم يقرأ الفاتحة بعد التعوذ ، ثم سورة من قصار المفصل في الفروض الخمسة المتكررة حيث طلبت ، أما ما لا يتكرر كصبح الجمعة فيقرأ فيه : {الم السجدة} {وهل أتى} كغيره مما ورد فيه سورة معينة ، ويقتصر على ثلاث تسبيحات في الركوع والسجود ، ويقول في الاعتدال بعد التسميع : ربنا لك الحمد حمداً كثيراً طيباً مباركاً ، فيه ملء السموات وملء الأرض وملء ما بينهما ، وملء ما شئت من شيء بعد ، وفي الجلوس بين السجدتين : رب اغفر لي إلى واعف عني ، وفي الدعاء بعد التشهد الأخير ، والصلاة على النبي على أقل منهما اهـ[10]
“Disunnahkan memanjangkan bacaan shalat sesuai yang dikehendaki asal tidak hingga sempit waktunya shalat bagi orang yang shalat sendirian seperti halnya imam bagi jama’ah yang tertentu pada suatu masjid yang tidak sering dikunjungi oleh orang lain selain jama’ah yang biasanya, yang semuanya rela dipanjangkan bacaan shalatnya dan tidak memiliki kewajiban lain seperti para pegawai upahan yang tengah bekerja, para sahaya dan para wanita-wanita yang telah bersuami, bila demikian adanya maka ringkaslah bacaan-bacaan dalam shalat seperti, aaat do’a iftitah ringkaslah pada bacaan wajjahtu wajhiya hingga wa ana minal muslimīn. Kemudian bacalah surat al-Fatihah setelal membaca ta’awwudz, saat membaca surat setelah al-Fatihah bacalah surat-surat yang pendek kecuali pada shalat-shalat tertentu yang memang terdapat anjuran membaca surat pada al-Quran secara khusus seperti pada shalat shubuh dihari jum’at yang dianjurkan membaca surat alif lām mīm as-sajdah dan hal atā, saat ruku’ dan sujud bacalah tasbih hanya tiga kali, saat i’tidal setelah membaca tasmī’ bacalah rabbanā.... Saat duduk diantara dua sujud bacalah rabbighirli hingga kalimat wa’fu ‘annī. Saat do’a setelah tasyahhud akhir dan membaca shalawat bacalah yang paling ringkas diantara keduanya.”
ويسن للصبح طوال المفصل وللظهر قريب منها وللعصر والعشاء أوساطه إن كان مقيما منفردا أو إمام قوم محصورين راضين بالتطويل أما المسافر فإنه يقرأ في صلاته كلها بالكافرون والإخلاص وأما المأموم فلا يسن له شيء من ذلك وأما إمام غير المحصورين ومثله إمام المحصورين غير الراضين بالتطويل فيسن له التخفيف[11]
“Dan disunahkan saat shalat shubuh membaca surat-surat panjang yang bersambung, saat shalat dhuhur surat-surat yang pendek darinya, saat shalat ashar dan ‘isya surat-surat yang sedang-sedang (tidak panjang dan tidak pendek) bila ia adalah orang muqim yang shalat sendirian atau menjadi imam bagi jama’ah tertentu yang rela dipanjangkan bacaannya didalam shalatnya. Sedang bila ia musafir maka bacalah disetiap shalat yang dikerjakannya surat al-Kafirun dan al-Ikhlas, bagi makmum tidak disunahkan membaca surat apapun. Sedangkan bagi Imam dan bagi jama’ah yang tidak tertentu begitu juga makmum bagi jama’ah tertentu namun tidak suka dengan bacaan surat panjang maka disunahkan bagi imam membaca surat seringan mungkin.”
Keterangan:
)قوله وإمام محصورين ( أي جماعة محصورين قال البجيرمي والمراد بالمحصورين من لا يصلي وراءه غيرهم ولو ألفا كما قاله شيخنا[12]
“Yang dimaksud Imam bagi jama’ah tertentu adalah Imam bagi kaum yang tidak ikut jama’ah kecuali hanya kaum tersebut meskipun jumlah mereka seribu, demikian menurut al-Bujairumi.”

v  Imam Disunnahkan Intizhar Saat Ruku' Dan Tasyahud Akhir
Ketika kita sedang melakukan shalat sendiri dan tiba-tiba ada orang yang ingin berma'mum pada kita, sedangkan kita sudah selesai membaca surah. Bolehkah kita menunggu ma'mum tadi sampai selesai takbiratul ihram agar dia mendapati satu raka'at bersama kita ? Kalau boleh? Di manakah tempat yang paling afdhal untuk imam menunggu makmum? Saat berdiri atau ketika ruku' ?
واذا احس الامام بداخل وهو راكع او في التشهد الاخير ندب انتظاره بشرط ان يكون قد دخل المسجد وان لا يفحش الطول وان يقصد الطاعة لا تمييزه واكرامه بان ينتظر الشريف دون الحقير، ويكره في غير الركوع والتشهد
“Dan ketika imam merasa ada seseorang yang masuk masjid untuk jamaah dan si imam sedang dalam posis ruku' atau tasyahhud akhir maka disunnahkan menunggu orang tersebut dengan syarat : keberadaannya sudah benar-benar masuk masjid, menunggunya tidak terlalu lama, dan meniatkan sebagai keta’atan, bukan karena membedakan atau memuliakan orang tersebut, semisal ia menunggu jika pejabat sedangkan untuk orang biasa tidak. Dan makruh menunggu di selain ruku' dan tasyahud.”
الفتاوى الفقهية الكبرى
وَسُئِلَ نَفَعَ اللَّهُ بِهِ عن قَوْلِهِمْ يُسَنُّ انْتِظَارُ الْمَأْمُوم في الرُّكُوعِ وَالتَّشَهُّد الْأَخِيرِ هل يُزَادُ على ذلك شَيْءٌ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ يُزَادُ عليه الْمَزْحُوم فَيُسَنُّ انْتِظَاره في الْقِرَاءَة وَالْمُوَافِق الْبَطِيءُ فَيَنْبَغِي أَنْ يُسَنَّ انْتِظَاره في السَّجْدَةِ الثَّانِيَة وَيَنْبَغِي أَيْضًا أَنْ يُلْحَقَ بِالْمَزْحُومِ الْمُوَافِق إذَا شَرَعَ الْإِمَامُ في الرُّكْنِ الرَّابِعِ[13]
إعانة الطالبين
)قوله داخل ( أي متلبس بالدخول وشارع فيه بالفعل وخرج به ما لو أحس الإمام به قبل شروعه في الدخول فلا يسن له الانتظار وقوله محل الصلاة أي وإن اتسع جدا إذا كان مسجدا أو بناء فإن كان فضاء فلا بد أن يقرب من الصف الآخر عرفا إن تعددت الصفوف( قوله مريد الاقتداء به ) حال من داخل أو من الضمير المستتر فيه أي حال كونه مريدا الاقتداء بالإمام أي بحسب ظنه بأن عرف من عادته ذلك فإن لم يرد الاقتداء به بحسب ذلك لم يسن له انتظاره( قوله في الركوع والتشهد الأخير ) الجار والمجرور متعلق بانتظاروإنما سن في الأول إعانة على إدراك الركعة وفي الثاني إعانة على إدراك الجماعة ومحل سنية الانتظار في الركوع إذا لم يكن الركوع الثاني من صلاة الكسوف وإلا فلا ينتظر فيه لأن الركعة لا تحصل بإدراكه وقوله لله تعالى متعلق بانتظار ومعنى كونه لله تعالى أن لا يكون له غرض في الانتظار إلا إدراك الركعة أو الفضيلة ( قوله بلا تطويل ) متعلق بانتظار أيضا والمراد به أنه لو وزع على القيام والركوع والسجود ونحوها من أفعال الصلاة لعد كل منها طويلا في عرف الناس وهذا القيد بالنسبة للإمام فقط[14]
الإقناع للشربيني
ولو أحس الإمام في ركوع غير ثان من صلاة الكسوف أو في تشهد أخير بداخل محل الصلاة يقتدى به سن انتظاره لله تعالى إن لم يبالغ في الانتظار ولم يميز بين الداخلين وإلا كره[15]
Fokus ini :
ان من احس بداخل وهو في القيام لا يستحب له انتظاره علي المذهب وانما اختلفوا في انتظاره في الركوع والتشهد
“Sesunguhnya imam yang merasa ada orang masuk masjid sedangkan posisi imam tersebut dalam keadaan berdiri maka menurut mazhab Syafi’i tidak disunnahkan baginya menunggu, dan masalah perbedaan pendapat tentang menunggu itu letaknya pada saat ruku’ dan tasyahud akhir. Para ulama sepakat memakruhkan menunggu pada selain saat ruku dan tasyahud.
Ibarat dalam al-Majmu':
والصحيح استحباب الانتظار مطلقاً بشروط : أن يكون المسبوق داخل المسجد حين الانتظار، وألا يفحش طول الانتظار، وأن يقصد به التقرب إلى الله تعالى لا التودد إلى الداخل وتمييزه،
Dari aneka pendapat yang diutarakan oleh para faqih dapatlah diambil suatu konklusi global bahwa diam imam dalam posisi berdiri boleh, karena berdiri itu rukun panjang. Tetapi menunggu makmum itu makruh dilakukan oleh imam kecuali dalam posisi ruku' dan tasyahud.

v  Hal Yang Dilakukan Imam Sesudah Shalat Berjama'ah
Disunahkan bagi imam, setelah selesai shalat untuk menghadap makmum.
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ ص اِذَا صَلَّى صَلاَةً اَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ. (رواه البخارى)[16]
Artinya:  Dari Samurah bin Jundab, ia berkata, "adalah Nabi Saw. apabila selesai shalat, beliau menghadap kepada kami".
Wallāhu A’lam




[1] Syeikh Ishaq Syairazi, al-Muhaẓẓab, Juz : I, h. 188-189. Lihat Wazārah al-Auqāf  wa al-Syiuna al-Islāmiyah , al-Mausu'ah, Juz : XXV, h. 35-36.
[2] Imam Bukhāri, Ṡaḥīḥ, Juz. I, 177.
[3] Imam Muslim, Ṡaḥīḥ, Juz. I, h. 324.
[4] Ibrahim Bujairimi, Ḥasyiah al-Bujairimi, Juz. II, h. 136.
[5] Imam Ramli, al-Nihayah al-Muḥtaj, Juz. II, h. 193.
[6] Imam Muslim, Ṡaḥīḥ, Juz.I, h. 341.
[7] Ibid.
[8] Zainuddin al-Malibari, Fatḥ, Juz. II, h. 14.
[9] Ibid, h. 12-13.
[10] Sayyed Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bugyah, Juz. I, h. 89.
[11] Nawawi al-Bantani,  Nihayah, Juz. I, h. 65.
[12] Zainuddin al-Malibari, Fatḥ, Juz. I, h. 146.
[13] Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah, Juz. I, h. 204.
[14] al-Bakri Muhammad ad-Dimyati, I’ānah, Juz. II, h. 13.
[15] Khatib Syarbaini, al-Iqna’, Juz. I, h. 164. Lihat an-Nawawi, al-Majmu’ Syarḥ, Juz. III, h. 387.
[16] Imam Bukhāri, Ṣaḥīḥ, Juz I, h. 205.

1 comments:

  1. Jazakumullah Khoiron Katsiron, artikelnya sangat bermanfaat

    ReplyDelete

Powered by Blogger.