A. Meluruskan shaf sebelum shalat
Mayoritas
ulama' berpendapat bahwa meluruskan barisan ketika mengerjakan shalat jama'ah
hukumnya sunat, yang dimaksud meluruskan barisan disini adalah posisi antara
satu makmum dengan makmum lain yang menempati barisan yang sama lurus, tidak
ada makmum yang posisinya lebih maju dari makmum lainnya, selain itu antara
pundak dan kedua telapak kaki satu makmum dengan makmum yang lainnya saling
menempel sehingga tak ada celah pada barisan tersebut.
Dan disunatkan bagi imam untuk memerintahkan
agar para makmum yang mengikuti shalat jum'at meluruskan barisan sebelum shalat
jama'ah dimulai sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.[1]
Dalam beberapa hadis diriwayatkan Nabi memerintahkan para jama'ah yang hadir
untuk meluruskan barisan mereka dengan mengatakan :
سَوُّوا صُفُوفَكُمْ، فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ
مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاَة[2]
Artinya: Luruskan barisan-barisan kalian, karena sesungguhnya meluruskan barisan adalah
bagian dari mendirikan shalat.
an-Nu’man meriwayatkan :
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ قَالَ:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص.م: يَقُوْلُ: لَتُسَوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ اَوْ
لَيُخَالِفَّنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ. (رواه مسلم)[3]
Artinya: Dari an-Nu'man bin Basyir, ia berkata : Saya pernah mendengar Rasulullah
Saw bersabda, "Sungguh kalian akan meratakan shaff kalian, atau (jika
tidak mau) Allah akan merubah diantara wajah-wajah kalian .
Apabila barisan shaf
depan masih terdapat tempat kosong, dia sunnah menerobos masuk ke dalam barisan
shaf. Namun jika shaf depannya rapat, disunnahkan menarik jama’ah di depannya
untuk membuat barisan shaf baru. Dan bagi jama’ah yang ditarik tersebut sunnah
ikut mundur.
Ibrahim al-Bujairimi
mengatakan dalam hasyiahnya:
وَكُرِهَ لِمَأْمُومٍ انْفِرَادٌ عَنْ صَفٍّ مِنْ
جِنْسِهِ بَلْ يَدْخُلُ الصَّفَّ إنْ وَجَدَ سَعَةً وَلَهُ أَنْ يَخْرِقَ الصَّفَّ
الَّذِي يَلِيْهِ فَمَا فَوْقَهُ إلَيْهَا لِتَقْصِيرِهِمْ بِتَرْكِهَا وَلاَ
يَتَقَيَّدُ خَرْقُ الصُّفُوفِ بِصَفَّيْنِ كَمَا زَعَمَهُ بَعْضُهُمْ وَإِنَّمَا
يَتَقَيَّدُ بِهِ تَخَطِّي الرِّقَابِ اْلآتِيْ فِي الْجُمُعَةِ فَإِنْ لَمْ
يَجِدْ سَعَةً أَحْرَمَ ثُمَّ بَعْدَ إحْرَامِهِ جَرَّ إلَيْهِ شَخْصًا مِنْ
الصَّفِّ لِيَصْطَفَّ مَعَهُ وَسُنَّ لِمَجْرُوْرِهِ مُسَاعَدَتُهُ قَوْلُهُ (
مُسَاعَدَتُهُ ) أَيْ لِيَنَالَ مَعَهُ فَضْلَ الْمُعَاوَنَةِ عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوَى مَعَ حُصُولِ ثَوَابِ صَفِّهِ الَّذِيْ كَانَ فِيهِ ِلأَنَّهُ لَمْ
يَخْرُجْ مِنْهُ إلاَ لِعُذْرٍ اهـ حَجّ و س ل[4]
Sejatinya masalah ini
teraktualisasi dan terealisasi sesuai dengan tuntunan ajaran Islam sekalipun
sunat, karena merapatkan shaf dalam shalat berjama’ah ada nilai-nilainya
tersendiri, bukankah kalau urusan dunia kita ingin yang sempurna? kenapa urusan
ibadah tidak? (bak ibadah bek meusukat kuah meubileung asoe). Bahkan
menurut imam Ramli shaf tidak teratur tidak mengurangi fadhilah jama’ah hanya
menghilangkan keutamaan shaf saja. Sebagaimana dijelaskan pada ibarat kitabnya berikut:
وَسُئِلَ الشِّهَابُ الرَّمْلِيُّ عَمَّا أَفْتَى بِهِ
بَعْضُ أَهْلِ الْعَصْرِ أَنَّهُ إذَا وَقَفَ صَفٌّ قَبْلَ إتْمَامِ مَا أَمَامَهُ
لَمْ تَحْصُلْ لَهُ فَضِيلَةُ الْجَمَاعَةِ هَلْ هُوَ مُعْتَمَدٌ أَوْ لاَ
فَأَجَابَ بِأَنَّهُ لاَ تَفُوتُهُ فَضِيلَةُ الْجَمَاعَةِ بِوُقُوفِهِ
الْمَذْكُورِ وَفِي ابْنِ عَبْدِ الْحَقِّ مَا يُوَافِقُهُ وَعِبَارَتُهُ لَيْسَ
مِنْهُ كَمَا يُتَوَهَّمُ صَلاَةُ صَفٍّ لَمْ يَتِمَّ مَا قَبْلَهُ مِنْ
الصُّفُوفِ فَلاَ تَفُوْتُ بِذَلِكَ فَضِيلَةُ الْجَمَاعَةِ وَإِنْ فَاتَتْ
فَضِيلَةُ الصَّفِّ انْتَهَى وَعَلَيْهِ فَيَكُونُ هَذَا مُسْتَثْنًى مِنْ
قَوْلِهِمْ مُخَالَفَةُ السُّنَنِ الْمَطْلُوبَةِ فِي الصَّلاَةِ مِنْ حَيْثُ
الْجَمَاعَةُ مَكْرُوهَةٌ مُفَوِّتَةٌ لِلْفَضِيْلَةِ اهـ[5]
Bukankah Rasulullah Saw
bersabda?
أَقِيْمُوْا الصُّفُوْفَ وَحَاذُوْا بَيْنَ الْمَنَاكِيَ
وَسَدُّوْا الخَلَلَ، وَلَيِّنُوْا بِأَيْدِيْ إِخْوَانِكُمْ وَلاَ تَذَرُوْا
فُرُجَاتِ لِلشَّيْطَانِ، وَ مَنْ وَصَلَ صَفَّا وَصَلَهُ اللَّه وَ مَنْ قَطَعَ
صَفَّا قَطَعَهُ اللَّهُ
Artinya: Luruskanlah
shaf rapatkan antara bahu-bahu, isilah sela-sela yang kosong dan lenturkanlah
dengan tangan-tangan saudara kamu, janganlah kamu meninggalkan tempat kosong
untuk syaithan, barang siapa yang menyambung shaf maka Allah akan
menyambungnya, dan barang siapa yang memutuskan shaf, maka Allah akan
memutuskannya. ( HR Ahmad ).
وَمَا مَنْ خُطْوَةِ أَحَيَّ إِلَى اللَّه مَنْ خُطْوَةٍ
يَمْشِيْهَا الأْعَبْدُ يَصِلُ بِهَا صَفَّا
Artinya: Tidak ada
langkah yang dilalui oleh hamba yang lebih disukai Allah melebihi langkah untuk
menyambung shaf (barisan). (HR Abu Dawud, )
B. Tugas
imam dalam shalat berjama’ah
a. Imam supaya
menyaringkan Takbiratul Ihram, agar makmum mengetahui bahwa imam telah
memulai shalat.
b. Menyaringkan/ menjiharkan
bacaan al-Fatihah dan surat/
ayat al-Qur'an pada shalat Magrib, 'Isya dan Shubuh, serta shalat-shalat
berjama'ah yang dituntunkan membaca jahr yang lain.
c. Menyaringkan
takbir-takbir serta bacaan i'tidal, dan salam sehingga makmum
mengetahui adanya perubahan-perubahan dari rukun ke rukun lainnya.
d. Menjaga
kesempurnaan shalat tersebut, baik bacaannya yang teratur, tidak tergesa-gesa, tuma'ninahnya,
dan terutama kekhusyu'annya yang merupakan jiwa dari shalat itu, ini semua
mengingat bahwa imam menjadi pemimpin dan yang bertanggung jawab atas
makmumnya.
Perlu pula mendapat perhatian bahwa hendaknya seorang imam itu mengerti
benar keadaan makmumnya, karena mengingat bahwa mungkin diantara mereka ada
yang telah lanjut usia atau lemah ataupun orang-orang yang mempunyai keperluan.
Maka bila demikian hendaknya imam berlaku bijaksana, yaitu tidak memanjangkan
bacaan atau memilih surat yang panjang-panjang, tetapi mencukupkan dengan
membaca bacaan yang ringan pada setiap rukunnya tanpa mengurangi ketertiban dan
tuma'ninah shalat itu sendiri.
عَن
اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص.م قَالَ: اِذَا اَمَّ اَحَدُكُمُ النَّاسَ
فَلْيُخَفّفْ فَاِنَّ فِيْهِمُ الصَّغِيْرَ وَ اْلكَبِيْرَ وَ الضَّعِيْفَ وَ
اْلمَرِيْضَ، فَاِذَا صَلَّى وَحْدَهُ فَلْيُصَلّ كَيْفَ شَآءَ. (رواه مسلم)[6]
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a, sesungguhnya Nabi Saw bersabda,
"Apabila seseorang dari kamu mengimami orang banyak, hendaklah ia
meringankannya karena diantara mereka ada yang anak kecil, ada yang sudah tua,
ada yang lemah, dan ada pula yang sakit, akan tetapi apabila ia shalat
sendirian, maka bolehlah ia shalat sebagaimana ia suka".
عَن اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ: اِذَا صَلَّى اَحَدُكُمُ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفّفْ فَاِنَّ فِى
النَّاسِ الضَّعِيْفَ وَ السَّقِيْمَ وَ ذَا اْلحَاجَةِ. (رواه مسلم)[7]
Artinya: Dari Abu Hurairah ia berkata : Rasulullah Saw. bersabda: "Apabila
seseorang diantara kalian shalat mengimami orang banyak, hendaklah ia
meringankannya, karena diantara mereka ada yang lemah, ada yang sakit, dan ada
yang mempunyai keperluan".
v Memberi Waktu Untuk Menunggu Makmum Terlambat
Misalkan,
seseorang sedang salat zuhur/ ‘asar sendirian
kemudian dia tahu ada orang yang makmum kepadanya. Posisinya sudah selesai baca fatihah dan surat pendek (hampir ruku’) kemudian seseorang bermakmum kepadanya. Pertanyaannya, salahkah jika ia memberi sedikit waktu kepada orang tersebut
untuk paling tidak baca fatihah? Atau dia langsung saja melanjutkan gerakan salat yang dimamaminya yaitu ke ruku’?
Zanuddin
al-Malibari mengatakan
:
وكره له تطويل وإن قصد لحوق آخرين[8]
“Makruh
baginya (imam) memperpanjang shalatnya, meskipun bertujuan supaya orang lain
bisa menyusulnya.”
ويسن لإمام ومنفرد انتظار داخل محل الصلاة مريدا
الاقتداء به في الركوع والتشهد الأخير لله تعالى بلا تطويل وتمييز بين الداخلين
ولو لنحو علم وكذا في السجدة الثانية ليلحق موافق تخلف لإتمام فاتحة لا خارج عن
محلها وأن صغر المسجد ولا داخل يعتاد البطء وتأخير الإحرام إلى الركوع بل يسن عدمه
زجرا له[9]
“Sunnah
menanti orang yang baru masuk shalat yang bermaksud untuk bermakmum di saat ruku’
dan tasyahud akhir, juga pada sujud kedua agar makmum muwafik
bisa menyempurnakan fatihahnya, hal ini dilakukan dengan syarat hanya karena
Allah ta'ala, tidak boleh memanjang-manjangkan dan juga membeda-bedakan orang
yang masuk. Tidak sunnah menanti orang yang di luar tempat shalat, meski
masjidnya kecil, juga orang yang memang kebiasaan lambat dan mengakhirkan
takbiratul ihram sampai waktunya ruku’, bahkan tidak menantinya adalah sunnah
untuk memberi palajaran baginya.”
Bagaimana
bila Posisi imam sudah selesai membaca al-Fatihah dan surat pendek (hampir ruku’)?
sementara ibaratnya:
في الركوع والتشهد الأخير
“Pada
kasus diatas, maka imam melanjutkan saja ruku’nya, dan menunggu
sekedarnya (sampai sekiranya makmum bisa mengikuti ruku’nya).”
v Imam Hendaknya Memperhatikan Kemaslahatan Makmum
Menjadi
imam shalat waktu melaksanakan shalat apakah juga memperhatikan kemaslahatan ma'mumnya/ bagaimana ? Dalam shalat berjama’ah, Imam hendaknya mengetahui
kondisi makmumnya, bila makmumnya pendatang yang ikut berjama’ah di masjid
tersebut, para pegawai buruh, para sahaya dan wanita-wanita yang telah bersuami
janganlah memperpanjang bacaan-bacaan shalatnya, bila makmumnya memang
orang-orang yang tertentu maka sunnah baginya memperpanjang bacaan shalatnya.
)مسألة : ك( : يسن التطويل للمنفرد كإمام
محصورين بمسجد غير مطروق لم يطرأ غيرهم ، وقد رضي الجميع لفظاً بتطويله ولم يتعلق
بهم حق كأجراء عين على عمل ناجز وأرقاء ومزوّجات حسبما أراد ما لم يضق الوقت
فحينئذ يقتصر في دعاء الافتتاح على : وجهت وجهي إلى وأنا من المسلمين ، ثم يقرأ
الفاتحة بعد التعوذ ، ثم سورة من قصار المفصل في الفروض الخمسة المتكررة حيث طلبت
، أما ما لا يتكرر كصبح الجمعة فيقرأ فيه : {الم السجدة} {وهل أتى} كغيره مما ورد
فيه سورة معينة ، ويقتصر على ثلاث تسبيحات في الركوع والسجود ، ويقول في الاعتدال
بعد التسميع : ربنا لك الحمد حمداً كثيراً طيباً مباركاً ، فيه ملء السموات وملء
الأرض وملء ما بينهما ، وملء ما شئت من شيء بعد ، وفي الجلوس بين السجدتين : رب
اغفر لي إلى واعف عني ، وفي الدعاء بعد التشهد الأخير ، والصلاة على النبي على أقل
منهما اهـ[10]
“Disunnahkan
memanjangkan bacaan shalat sesuai yang dikehendaki asal tidak hingga sempit
waktunya shalat bagi orang yang shalat sendirian seperti halnya imam bagi jama’ah
yang tertentu pada suatu masjid yang tidak sering dikunjungi oleh orang lain
selain jama’ah yang biasanya, yang semuanya rela dipanjangkan bacaan shalatnya
dan tidak memiliki kewajiban lain seperti para pegawai upahan yang tengah
bekerja, para sahaya dan para wanita-wanita yang telah bersuami, bila demikian
adanya maka ringkaslah bacaan-bacaan dalam shalat seperti, aaat do’a iftitah
ringkaslah pada bacaan wajjahtu wajhiya hingga wa ana minal muslimīn.
Kemudian bacalah surat al-Fatihah setelal membaca ta’awwudz, saat
membaca surat setelah al-Fatihah bacalah surat-surat yang pendek kecuali pada
shalat-shalat tertentu yang memang terdapat anjuran membaca surat pada al-Quran
secara khusus seperti pada shalat shubuh dihari jum’at yang dianjurkan membaca
surat alif lām mīm as-sajdah dan hal atā, saat ruku’ dan sujud
bacalah tasbih hanya tiga kali, saat i’tidal setelah membaca tasmī’
bacalah rabbanā.... Saat duduk diantara dua sujud bacalah rabbighirli
hingga kalimat wa’fu ‘annī. Saat do’a setelah tasyahhud akhir dan
membaca shalawat bacalah yang paling ringkas diantara keduanya.”
ويسن للصبح طوال المفصل وللظهر قريب منها وللعصر والعشاء
أوساطه إن كان مقيما منفردا أو إمام قوم محصورين راضين بالتطويل أما المسافر فإنه
يقرأ في صلاته كلها بالكافرون والإخلاص وأما المأموم فلا يسن له شيء من ذلك وأما
إمام غير المحصورين ومثله إمام المحصورين غير الراضين بالتطويل فيسن له التخفيف[11]
“Dan
disunahkan saat shalat shubuh membaca surat-surat panjang yang bersambung, saat
shalat dhuhur surat-surat yang pendek darinya, saat shalat ashar dan ‘isya
surat-surat yang sedang-sedang (tidak panjang dan tidak pendek) bila ia adalah
orang muqim yang shalat sendirian atau menjadi imam bagi jama’ah tertentu yang
rela dipanjangkan bacaannya didalam shalatnya. Sedang bila ia musafir maka
bacalah disetiap shalat yang dikerjakannya surat al-Kafirun dan al-Ikhlas, bagi
makmum tidak disunahkan membaca surat apapun. Sedangkan bagi Imam dan bagi jama’ah
yang tidak tertentu begitu juga makmum bagi jama’ah tertentu namun tidak suka
dengan bacaan surat panjang maka disunahkan bagi imam membaca surat seringan
mungkin.”
Keterangan:
)قوله وإمام محصورين (
أي جماعة محصورين قال البجيرمي والمراد بالمحصورين من لا يصلي وراءه غيرهم ولو
ألفا كما قاله شيخنا[12]
“Yang
dimaksud Imam bagi jama’ah tertentu adalah Imam bagi kaum yang tidak ikut
jama’ah kecuali hanya kaum tersebut meskipun jumlah mereka seribu, demikian
menurut al-Bujairumi.”
v Imam Disunnahkan Intizhar Saat Ruku' Dan Tasyahud Akhir
Ketika
kita sedang melakukan shalat sendiri dan tiba-tiba ada orang yang ingin
berma'mum pada kita, sedangkan kita sudah selesai membaca surah. Bolehkah kita
menunggu ma'mum tadi sampai selesai takbiratul ihram agar dia mendapati satu raka'at bersama kita ? Kalau boleh?
Di manakah tempat yang paling afdhal untuk imam menunggu makmum? Saat berdiri
atau ketika ruku' ?
واذا احس الامام بداخل وهو راكع او في التشهد الاخير ندب
انتظاره بشرط ان يكون قد دخل المسجد وان لا يفحش الطول وان يقصد الطاعة لا تمييزه
واكرامه بان ينتظر الشريف دون الحقير، ويكره في غير الركوع والتشهد
“Dan
ketika imam merasa ada seseorang yang masuk masjid untuk jamaah dan si imam
sedang dalam posis ruku' atau tasyahhud akhir maka disunnahkan menunggu
orang tersebut dengan syarat : keberadaannya sudah benar-benar masuk masjid,
menunggunya tidak terlalu lama, dan meniatkan sebagai keta’atan, bukan karena
membedakan atau memuliakan orang tersebut, semisal ia menunggu jika pejabat
sedangkan untuk orang biasa tidak. Dan makruh menunggu di selain ruku'
dan tasyahud.”
الفتاوى
الفقهية الكبرى
وَسُئِلَ نَفَعَ اللَّهُ بِهِ عن قَوْلِهِمْ يُسَنُّ
انْتِظَارُ الْمَأْمُوم في الرُّكُوعِ وَالتَّشَهُّد الْأَخِيرِ هل يُزَادُ على
ذلك شَيْءٌ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ يُزَادُ عليه الْمَزْحُوم فَيُسَنُّ انْتِظَاره
في الْقِرَاءَة وَالْمُوَافِق الْبَطِيءُ فَيَنْبَغِي أَنْ يُسَنَّ انْتِظَاره في
السَّجْدَةِ الثَّانِيَة وَيَنْبَغِي أَيْضًا أَنْ يُلْحَقَ بِالْمَزْحُومِ
الْمُوَافِق إذَا شَرَعَ الْإِمَامُ في الرُّكْنِ الرَّابِعِ[13]
إعانة الطالبين
)قوله داخل (
أي متلبس بالدخول وشارع فيه بالفعل وخرج به ما لو أحس الإمام به قبل شروعه في
الدخول فلا يسن له الانتظار وقوله محل الصلاة أي وإن اتسع جدا إذا كان مسجدا أو
بناء فإن كان فضاء فلا بد أن يقرب من الصف الآخر عرفا إن تعددت الصفوف( قوله مريد
الاقتداء به ) حال من داخل أو من الضمير المستتر فيه أي حال كونه مريدا الاقتداء
بالإمام أي بحسب ظنه بأن عرف من عادته ذلك فإن لم يرد الاقتداء به بحسب ذلك لم يسن
له انتظاره( قوله في الركوع والتشهد الأخير ) الجار والمجرور متعلق بانتظاروإنما
سن في الأول إعانة على إدراك الركعة وفي الثاني إعانة على إدراك الجماعة ومحل سنية
الانتظار في الركوع إذا لم يكن الركوع الثاني من صلاة الكسوف وإلا فلا ينتظر فيه
لأن الركعة لا تحصل بإدراكه وقوله لله تعالى متعلق بانتظار ومعنى كونه لله تعالى
أن لا يكون له غرض في الانتظار إلا إدراك الركعة أو الفضيلة ( قوله بلا تطويل )
متعلق بانتظار أيضا والمراد به أنه لو وزع على القيام والركوع والسجود ونحوها من
أفعال الصلاة لعد كل منها طويلا في عرف الناس وهذا القيد بالنسبة للإمام فقط[14]
الإقناع
للشربيني
ولو أحس الإمام في ركوع غير ثان من صلاة الكسوف أو في
تشهد أخير بداخل محل الصلاة يقتدى به سن انتظاره لله تعالى إن لم يبالغ في
الانتظار ولم يميز بين الداخلين وإلا كره[15]
Fokus ini :
ان من احس بداخل وهو في القيام لا يستحب له انتظاره علي
المذهب وانما اختلفوا في انتظاره في الركوع والتشهد
“Sesunguhnya
imam yang merasa ada orang masuk masjid sedangkan posisi imam tersebut dalam keadaan berdiri maka menurut mazhab
Syafi’i tidak disunnahkan baginya menunggu, dan masalah perbedaan pendapat
tentang menunggu itu letaknya pada saat ruku’ dan tasyahud akhir. Para ulama sepakat memakruhkan
menunggu pada selain saat ruku’ dan tasyahud.”
Ibarat
dalam al-Majmu':
والصحيح استحباب الانتظار مطلقاً بشروط : أن يكون
المسبوق داخل المسجد حين الانتظار، وألا يفحش طول الانتظار، وأن يقصد به التقرب
إلى الله تعالى لا التودد إلى الداخل وتمييزه،
Dari
aneka pendapat yang diutarakan oleh para faqih dapatlah diambil suatu konklusi
global bahwa diam imam dalam posisi berdiri boleh, karena berdiri itu rukun
panjang. Tetapi menunggu makmum itu makruh dilakukan oleh imam kecuali dalam
posisi ruku' dan tasyahud.
v
Hal Yang Dilakukan Imam Sesudah Shalat
Berjama'ah
Disunahkan
bagi imam, setelah selesai shalat untuk menghadap makmum.
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ
قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ ص اِذَا صَلَّى صَلاَةً اَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ. (رواه
البخارى)[16]
Artinya:
Dari Samurah bin Jundab, ia berkata, "adalah Nabi Saw. apabila selesai shalat, beliau menghadap
kepada kami".
Wallāhu A’lam
[1] Syeikh Ishaq Syairazi, al-Muhaẓẓab, Juz : I, h. 188-189. Lihat Wazārah al-Auqāf
wa al-Syiuna al-Islāmiyah , al-Mausu'ah, Juz : XXV, h. 35-36.
[2] Imam Bukhāri, Ṡaḥīḥ, Juz. I, 177.
[3] Imam Muslim, Ṡaḥīḥ, Juz.
I, h. 324.
[4] Ibrahim Bujairimi, Ḥasyiah al-Bujairimi, Juz. II, h. 136.
[5] Imam Ramli, al-Nihayah
al-Muḥtaj, Juz. II, h. 193.
[6] Imam Muslim, Ṡaḥīḥ, Juz.I,
h. 341.
[7] Ibid.
[8] Zainuddin al-Malibari, Fatḥ,
Juz. II, h. 14.
[9] Ibid, h. 12-13.
[10] Sayyed
Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bugyah, Juz. I, h. 89.
[11] Nawawi al-Bantani, Nihayah,
Juz. I,
h. 65.
[12] Zainuddin al-Malibari, Fatḥ,
Juz. I, h. 146.
[13] Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah, Juz. I, h. 204.
[14] al-Bakri Muhammad ad-Dimyati, I’ānah, Juz. II, h. 13.
[15] Khatib
Syarbaini, al-Iqna’, Juz. I, h. 164. Lihat an-Nawawi, al-Majmu’
Syarḥ, Juz. III, h. 387.
[16] Imam
Bukhāri, Ṣaḥīḥ, Juz I, h. 205.
Jazakumullah Khoiron Katsiron, artikelnya sangat bermanfaat
ReplyDelete