Home » » Beberapa Hal Yang Membatalkan Shalat

Beberapa Hal Yang Membatalkan Shalat


  A.  Pendahuluan
Perbuatan yang membatalkan shalat sangat banyak, di antaranya diketahui secara umum melalui syarat sah shalat sebagaimana yang telah kita ketahui dari syarat dan rukun shalat, adapun pada tulisan ini penulis akan menyebutkan lima belas (15) hal yang membatalkan shalat, yaitu: berkata-kata dengan sengaja, menambah satu rukun dengan sengaja, sengaja memanjangkan rukun yang pendek, melakukan perbuatan yang keji, mengerjakan perbuatan selain dari jenis shalat, makan dan minum walau sedikit,
tertinggal satu rukun, menukar niat shalat, berniat memutuskan shalat, mengaitkan putusnya shalat, berhadas, kegugurran najis yang tidak dimaafkan, terbuka aurat, berpaling dari kiblat, dan murtad. Tujuan pembahasan ini yaitu untuk memberikan penjelasan dan pemahaman kepada pembaca tentang hal-hal yang membatalkan shalat.

B.  Berkata-kata dengan sengaja
Yaitu perkataan yang memberi kefahaman atau pun tidak memberi faham sekalipun satu huruf, misal mengatakan huruf (ق) (ع)dan (ل) karena dalam bahasa Arab huruf ق singkatan dari wiqayah, ع singkatan dari ri’ayah dan ل singkatan dari wilayah atau hurf ط singkataan dari waṭ’i.
Berkata-kata dengan huruf dan suara dapat di bagi menjadi kepada tiga bagian:
1.    Batuk, menguap, sendawa (cekluan) (tidak membatalkan shalat jika ada uzur atau tidak ada unsur main main)
2.    Bersin (tidak membatalkan shalat jika ada uzur atau tidak ada unsur main main)
3.    Berdehem (tidak membatalkan shalat jika ada uzur atau tidak ada unsur main main dan di perbolehkan berdehem pada tempat yang diwajibkan rukun qauli yang lima, takbiratul ikhram, al-Fatihah, tahyat terakhir, shalawat pada tahyat akhir dan salam yang pertama)
4.    Mendengus dengan hidung (membatalkan shalat)
5.    Mengembus dengan mulut (membatalkan shalat)
6.    Tertawa (membatalkan shalat jika terbahak bahak, boleh hanya sekedar tersenyum)
7.    Menangis [1]
Tangisan dalam shalat menurut pendapat yang shahih bila sampai keluar dua huruf dalam tangisannya membatalkan shalat karena adanya hal yang menafikan shalat walau tangisan takut akan akhirat sekalipun, sedang menurut Muqābil pendapat yang shahih tidak membatalkan karena tangisan tidak tergolong pembicaraan serta tidak dapat difahami, tangisan hanyalah serupa dengan suara murni. [2]
Maka dari penjelasan tersebut dapat difahami bahwa batal shalat jika makmum mengingatkan imam yang salah dalam shalat dengan semata mengingkatkan imam yang salah, adapun jika memperingatkan imam dengan lafadz (سبحن الله) dengan niat dzikir, maka tidak membatalkan shalat. Dan tidak batal jika mengucapkan “الحمد لله” saat mendengarkan orang bersin.

C.  Sengaja menambah satu rukun dari rukun fi’li (perbuatan)
Hukum tahyat pertama (imam tahyat, maka makmum boleh tidak tahyat dengan sengaja, jika makmum berdiri tanpa ada unsur kesengajaan, maka wajib makmum duduk kembali, dan apabila imam tidak tahyat pertama, maka wajib makmum tidak melakukan tahyat (wajib mengikuti Imam). Hukum sujud sahwi (jika imam sujud sahwi, maka makmum wajib sujud sahwi, dan jika imam tidak sujud sahwi, maka makmum boleh melakukan sujud sahwi).
Adapun jika lupa (ragu) raka’at dalam shalat, (dua raka’atkah atau tiga raka’at) maka wajib mengambil keyakinan dua raka’at (mengambil yang terkecil, dan menyempurnakan raka’at yang tertinggal, dan di sunnahkan sujud sahwi). [3]

D.  Sengaja memanjangkan rukun pendek, yaitu: i’tidal dan duduk diantara dua sujud, adapun batasan rukun pendek adalah sekedar membaca tasyahut pertama, jika di lebihkannya masa i’tidal dan duduk dintara dua sujud, maka batallah shalatnya.

E.  Melakukan perbuatan yang keji seperti melompat dengan langkah yang panjang maka batallah shalatnya sekalipun dilakukan karena lupa.

F.   Mengerjakan perbuatan selain dari jenis shalat
Jika perbuatan tersebut dianggap banyak dan dilakukan beberapa kali yang bersambung sambung kecuali pada shalat khauf (ketakutan) seperti melangkah, jongkok, mengaruk dengan menggerakkan seluruh tangan, adapun menggaruk dengan jari-jari tangan maka tidak membatalkan shalat dengan syarat tangan tidak ikut bergerak, mazhab Syafi’i berpendapat bahwa gerakan yang tidak berhubungan dengan shalat dapat membatalkan shalat dengan syarat gerakan tersebut:
1.    Dilakukan tiga kali lebih secara berturut-turut
2.    Atau dilakukan sekali tapi melampaui batas seperti meloncat memukul dengan keras
3.    Atau dilakukan sekali tapi diniati bergerak tiga kali
4.    Atau dilakukan sekali tapi bertujuan mempermainkan shalat. [4]

G. Makan dan minum walau sedikit
Makan atau minum sekalipun sedikit membatalkan shalat melainkan makan atau minum yang sedikit karena lupa bahwa ia dalam keadaan shalat atau tidak mengetahui keharaman makan dan minum di dalam shalat seperti baru masuk islam. Jika yang ditelan hanya rasanya saja (bukan sisa makanan) maka tidak membatalkan shalat, misalnya sebelum shalat sudah berkumur tapi masih ada rasa manis/ pedas dalam mulut maka menelan ludah tidak batal, tapi jika ada wujudnya (`ain) meski hanya sedikit/ kecil maka batal jika di telan, solusinya sikatan/ siwakan dulu sebelum shalat. [5]

H.  Tertinggal satu rukun qauli/ fi’li
Bila selain makmum (imam dan munfarid) lupa atau ragu meninggalkan salah satu rukun dan dia mengetahui bagian yang tertinggalnya, maka ada beberapa kemungkinan :
1.    Bila baru ingat sebelum sampai pada pekerjaan sejenis pada raka’at berikutnya, maka langsung ke posisi rukun yang tertinggal. Misalnya, ketika sujud dia teringat tidak membaca fatihah, maka langsung berdiri dan membaca fatihah.
2.    Bila baru ingat setelah sampai pada pekerjaan sejenis pada raka’at berikutnya, maka teruskan saja raka’at itu, adapun pekerjaan (raka’at) yang tidak sempurna sebelumnya menjadi laga, dan harus ditambah.
3.    Bila tidak mengetahui mana dan dimana bagian yang tertinggal, maka ditambah saja satu raka’at. [6]

I.     Menukarkan niat shalat fardhu kepada shalat sunat
Contoh, disaat melaksanakan shalat zuhur, mengantikan niat shalat zuhur menjadi shalat sunnat qabliyah zuhur. Maka hal ini membatalkan shalat.

J.    Berniat memutuskan (menghentikan) shalat
Diantara yang dapat menafikan adanya niat adalah “Niat memutus ibadah”, dan dalam hal ini terdapat beberapa macam bahasan :
v Niat memutuskan iman, seketika menjadi murtad ‘Na’ûżu billāh min żālik
v Niat memutuskan shalat setelah rampung shalat. Ulama sepakat ibadah shalatnya tidak batal begitu juga ibadah-ibadah yang lain kecuali dalam ibadah bersuci (wudhu, mandi dan tayammum), terdapat pendapat ulama yang menyatakan batal karena hukumnya masih berkaitan dengan ibadah selanjutnya.
v Niat memutuskan bersuci saat menjalaninya, menurut pendapat yang paling shahih (kuat/ benar) tidak membatalkan anggota badan yang telah di basuh/ di usap hanya saja wajib memperbaharui niat pada basuhan/ usapan anggota setelahnya.
v Niat memutuskan shalat saat menjalaninya. Ulama sepakat batal shalatnya karena shalat menyerupai iman.
v Niat memutuskan puasa dan i’tikaf saat menjalaninya, pendapat yang lebih shahih tidak batal (beda dengan shalat) karena shalat memiliki kekhususan diantara ibadah-ibadah lainnya, di dalamnya terdapat hubungan, persambungan dan munajat langsung antara hamba dan Tuhannya.
v Niat makan, niat senggama saat menjalani puasa, tidak membatalkan puasa.
v Niat melakukan hal yang membatalkan shalat seperti makan, perbuatan banyak saat menjalani shalat, tidak membatalkan sebelum ia benar-benar melakukannya.
v Niat puasa di malam hari kemudian ia ‘memutuskan’nya sebelum datangnya fajar, niatnya rusak karena telah menjalani hal yang merusak niat berbeda dengan melakukan semacam makan sebelum fajar, niatnya tidak menjadi rusak.
v Niat memutus haji dan umrah saat menjalaninya. Ulama sepakat ibadahnya tidak batal.
v Niat memutuskan shalat jama’ah saat menjalaninya, jama’ahnya batal.
Bagaimana dengan shalatnya ? Terdapat dua pendapat : Bila memutuskan shalat jama’ahnya karena uzur (alasan), shalatnya tidak batal (ulama sepakat), bila tidak karena uzur, shalatnya juga tidak batal (pendapat yang lebih shahih). [7]

K. Mengaitkan putusnya shalat
Yaitu mengaitkan memberhentikan shalat dengan sesuatu, contoh di saat hendak melaksanakan shalat atau di dalam shalat berniat memberhentikan (membatalkan shalat) jika ada tamu di saat menunggu datangnya tamu, maka shalat seprti ini di hitung batal (tidak sah) sekalipun tamu tidak datang di karenakan hilangnya keyakinan niat atas shalatnya.

L.  Berhadas
Maka dapat membatalkan shalat jika di saat shalat keluar sesuatu dari dua jalan (dubur dan qubul), hilang akal (tidur, mabuk, pitam) tersentuh (bersentuhan) kulit laki laki dengan wanita yang ajnabi (yang halal dinikahi) tanpa lapik dan menyentuh kemaluan dengan telapak tangan tanpa lapik.

M.   Keguguran najis yang tidak dimaafkan
Kedatangan najis yang tidak dimaafkan pada tubuh, pakaiannya, maka batallah shalatnya, kecuali jika segera di hilangkannya jika terkena najis kering. Maka dapat di fahami, batal shalat jika menyentuh atau membawa bangkai binatang yang bernajis                 ( bangkai binatang yang tidak bisa di makan atau bagian dari anggota tubuh bangkai binatang yang tidak bisa di makan) contoh : bangkai lalat, bangkai semut, bulu kucing, bangkai kecoak, dan lain sebagainya.

N.  Keguguran najis yang tidak dimaafkan
Maka batallah shalatnya jika terbuka aurat kecuali jika terbukanya sebentar karena ditiup angin dan segera di tutupnya seketika itu juga, maka tidaklah batal shalatnya.

O.  Terbuka aurat
Maka batallah shalatnya jika terbuka aurat kecuali jika terbukanya sebentar karena ditiup angin dan segera di tutupnya seketika itu juga, maka tidaklah batal shalatnya.

P.   Berpaling dada dari arah kiblat
Berpaling dada dari arah kiblat dalam shalat fardhu kecuali pada saat shalat khauf (ketakutan) atau di dalam shalat sunnat di atas kendaraan.

Q.  Murtad
Keluar dari agama islam, dengan merusak akidah ( meyakini Allah di atas, bawah, samping, depan, dan belakang maka dikategorikan murtad. Tidak mempercayai salah satu rukun Iman yang enam.

R.  Penutup
Dari uraian di atas dapat di ambil suatu kesimpulan bahwa secara garis besar ada lima belas (15) perkara yang apabila dikerjakan dapat membatalkan shalat.






Footnot:
[1] Imam Nawawi, al-Majmu’, Juz. III, h. 79-80.
[2] Imam Ramli, al-Nihayah al-Muḥtaj, Juz. II, h. 34. Lihat, Qalyubi, Ḥasyiah Qalyubi, Juz. I, h. 187. Lihat juga, Khatib Syarbaini, al-Mugni, Juz. I, h. 95.
[3] Nawawi al-Bantani, Nihāyah, Juz. I, h. 84.
[4] Zainuddin al-Malibari, Fath, Juz. I, h. 215-216
[5] Sulaiman al-Jamal,  Ḥasyiyah al-Jamal‘ala Syarḥ al-Manhaj, Juz. I (Beirut: Dār Iḥya al-Turaṣi al-Arabi, t.t.), h. 436.
[6] Zainuddin al-Malibari, al-Fath, Juz. 1, h. 124.
[7] al-Suyuthi, al-Asybah Wa al-Naẓāir, Juz. I (Indonesia: al-Haramain, t.t.), h. 91.

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.