A. Pendahuluan
Bila kita hendak
melakukan perjalanan, satu hal yang perlu kita persiapkan yakni alat
transportasi. Saya tidak hendak membahas secara panjang lebar persiapan perjalanan, tetapi saya
akan berbicara tentang satu hal yang tak mungkin di abaikan dalam sebuah
perjalanan, alat transportasi.
Jika kedudukan kita sebagai
penumpang, tak banyak persoalan. Namun bila posisi kita sebagai driver atau
pengemudi, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dan aturan yang tidak boleh di
langgar. Diantaranya, pengemudi harus memiliki
surat izin mengemudi (SIM). Surat ini dikeluarkan oleh pihak yang berwenang
yaitu kepolisian setelah melalui beberapa tahapan tes keahlian mengemudi. Tentu,
keahlian mengemudi diperoleh dengan belajar mengemudi, baik melalui kursus
mengemudi ataupun belajar sendiri dengan dibimbing seorang instruktur yang
ahli.
Shalat merupakan perjalanan spiritual seorang hamba kepada Tuhannya.
Tentu, sebagaimana kita mempersiapkan segala sesuatu saat bepergian, begitu
pula bila kita hendak shalat. Shalat ibarat kendaraan yang memerlukan
seorang pengemudi yaitu Imam. Seperti halnya driver, Imam juga diharuskan
memenuhi persyaratan tertentu. Diantaranya, ia
harus mengetahui dan memahami seluk beluk shalat, syarat dan rukunnya serta
hal-hal yang membatalkannya. Tidak hanya
itu, ia juga dituntut bagus bacaan al-Qur'annya. Sebab, ayat
al-Qur'an (al Fatihah) ibarat kemudi pada shalat. Tanpa kemudi, kendaraan tidak dapat
dijalankan dan tanpa bacaan al-Fatihah yang sempurna, shalat tidak sah.
B. Pengertian imam shalat
Imam menurut bahasa berarti
“kepemimpinan”. Imam artinya “pemimpin” seperti “ketua” atau yang lainnya, baik
dia member petunjuk maupun menyesatkan. Imam disebut juga khalifah yaitu
penguasa/ pemimpin tertinggi rakyat. Didalam al-Quran juga disebutkan kata imam
(pemimpi) dan aimmah (pemimpin-pemimpin).[1]
Menurut Wahbah al-Zuhaili, kata
imam mempunyai dua pengertian yaitu imam dalam pengertian luas dan sempit.
Definisi yang luas berarti hak pengendalian yang menyeluruh atas manusia atau
memberikan ketaatan pada ketua dalam perkara agama dan dunia. Dalam pengertian
sempit, maksudnya adalah imam shalat, yang berarti hubungan shalat seseorang
dengan imamnya.[2] Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa Imam
adalah orang yang memimpin pelaksanaan shalat jama’ah.
C. Syarat-syarat/ kriteria
imam shalat
Persoalan tentang imam dalam shalat
telah menjadi salah satu topik kajian
para ulama dalam fiqh ibadah. Signifikasi konsep imam ini terlihat dengan adanya
berbagai kriteria yang ditetapkan oleh ulama bagi orang-orang yang akan
didaulat sebagai pemimpin shalat.
Wahbah al-Zuhaili menerangkan bahwa ada 9
(sembilan) syarat utama menjadi imam dalam shalat, yaitu: 1) Islam, 2) Berakal,
3) Baligh (mumayyiz), 4) Laki-laki, 5) Suci dari hadas, 6) Bagus bacaan
al-Quran dan rukunnya, 7) Bukan makmum (disepakati 3 mazhab), 8) Selamat, sehat
(tidak sakit), tidak uzur, 9) Lidahnya fasih, dapat mengucapkan bahasa Arab
dengan tepat.[3]
Andai saat berkumpul ummat Islam untuk shalat,
lalu semua yang hadir memiliki 9 syarat diatas, maka yang lebih layak menjadi
imam shalat adalah (syarat ini dipenuhi secara berurutan):
a.
Wali (pemimpin)
b.
Imam ratib (yang diangkat oleh wali)
c.
Orang yang paling memahami tentang fiqih
d.
Orang yang paling banyak hafalan dan bagus
bacaannya
e.
Orang yang paling wara’
f.
Di zaman Rasulullah, orang yang terlebih dahulu
hijrah
g.
Lebih dahulu masuk Islam
h.
Nasabnya baik
i.
Perjalanan hidupnya lebih baik
j.
Lebih bersih pakaiannya
k.
Badannya bersih
l.
Memiliki kepakaran
m.
Suaranya bagus
n.
Lebih tampan
o.
Sudah menikah.[4]
Sedangkan Syarat-syarat menjadi imam menurut An-Nawawi antara lain adalah:
a.
Sanggup menunaikan shalat. Maka jika dengan
tiba-tiba datang gangguan, hendaklah ia menggantikan
dirinya badan mundur ke dalam shaf .
b.
Mengetahui hukum shalat. Mengetahui sah
tidaknya shalat dalam segala sudut. Karena itu tidak sah diikuti orang yang
sedikit juga mengetahui fiqih dan mengetahui al-Qur‟an. Dikehendaki mengetahui fiqih
di sini, ialah mengetahui hukum-hukum bersuci dan hukum-hukum shalat.
c.
Mempunyai hafalan yang kuat.
d.
Tidak cacat bacaan al-Qur‟an (al-Fatihah, Surat dan Zikir).[5]
Secara terperinci, Abu Hanifah mendahulukan mereka
yang lebih atas pengetahuan hukum-hukum, kemudian yang paling baik bacaannya,
kemudian mereka yang wara’, Islam, balig, memiliki akhlak mulia, tampan wajahnya, bagus
keturunannya, dan paling bersih pakaiannya. Apabila terdapat sejumlah orang
yang sama kriterianya, maka diadakan undian untuk memilih salah seorang yang
berhak menjadi imam.[6]
Adapun persyaratan secara rinci yang dikemukakan Malikiyah adalah lebih
mendahulukan sultan (penguasa) atau wakilnya, imam masjid, penghuni rumah, yang
mengetahui tentang hukum shalat, yang paling baik bacaannya, yang paling banyak
ibadahnya, yang lebih dahulu Islamnya, baik nasabnya, memiliki akhlak mulia,
bagus pakaiannya, dan jika sama maka diadakan undian untuk menentukannya.[7]
Sementara itu, Syafi’iyah memberikan persyaratan
penguasa dan imam masjid lebih didahulukan daripada mareka yang lebih faham
terhadap masalah shalat dan kemudian mereka yang paling baik bacaannya. Di sisi
lain, Hanabilah berpendapat bahwa orang yang berhak menjadi imam adalah
seseorang yang paling paham dan bagus bacaannya, kemudian orang yang paling
baik bacaannya saja, dan jika tidak ada maka baru mereka yang paling paham
tentang masalah shalat. Namun, jika masih ditemukan ada yang sama, maka
ditentukan melalui undian.[8]
Secara global, dari pendapat para fuqaha di atas
terdapat beberapa kriteria yang bersifat substansial, yang disepakati oleh
mereka untuk seseorang yang dapat menjadi imam yakni kemampuan bacaan al-Quran
dan kapasitas ilmu agama yang baik. Sementara kriteria-kriteria yang lain,
seperti umur, kedudukan, akhlak, dan lain sebagainya menjadi tidak terlalu
substansial dibandingkan kedua kriteria di atas. Namun, beberapa ulama
memberikan persyaratan khusus yakni hanya membolehkan laki-laki sebagai imam.
Sementara itu, wanita hanya diperbolehkan menjadi imam bagi kaumnya saja.
Pendapat ini berdasarkan hadis riwayat Jabir:
عن جابر عن النبى صلى الله عليه وسلم قال:
لا تؤمن امرأة رجل ولا أعرابي مهاجرا ولا يؤمن فاجر مؤمنا. (اخرجه ابن ماجه)[9]
Artinya: Dari Jabir, dari Nabi Saw, dia bersabda:
Janganlah sekali-kali perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki, orang Arab
Badui bagi orang-orang Muhajir, dan orang jahat bagi orang mukmin.
D. Penutup
Berdasarkan deskripsi di atas penulis menyimpulkan bahwa proses penunjukan
imam bukanlah suatu proses yang dilakukan secara serampangan, main-main dan
asal-asalan, akan tetapi proses tersebut mengacu pada transformasi sejumlah
pengetahuam keterampilan, dan menekankan pada ketercapaian kompetensi imam
dalam menguasai dan mengimplentasikan nilai-nilai ajaran Agama. Fokus pemikiran
kriteria imam shalat yang dipelopori oleh para Imam Mazhab dan para fuqaha
lainnya hendaklah mengilhami Pengurus Masjid untuk menempatkan bacaan al-Quran
yang sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu qirā’at, seperti waqaf, makhāriju
al-Ḥuruf dan tajwid sebagai azas utama bagi imam, dikarenakan
kualitas atau kemampuan membaca al-Quran bagi imam sangat menentukan kualitas
bahkan sebagai sebab sahnya shalat. Di samping mereka (para imam) juga wajib menguasai
tentang syahadat, dan shalat serta adab-adabnya. Di sisi lain, juga terdapat
anjuran kepada para imam agar senantiasa berpegang teguh pada nilai-nilai
akhlak dalam praktek kehidupan sehari-hari sebagai manifestasi ketaatan kepada
Allah dan Rasul.
Wallāhu A’lam
[1] Ali Ahmad al-Salus, Imamah dan Khalifah Dalam
Tinjauan Syar’i, terj. Asmuni Sholihin Zamakhsyari (Jakarta: Gema Insani
Press, 1997), h. 15.
[2] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam, Jilid
II, h. 1191-1192.
[3] Ibid., h. 1192-1198.
[4] Ibid.
[5] Imam An-Nawawi, al-Majmu’
Syarh, Juz III, h. 92.
[6] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam, h. 1201-1202.
[7] Ibid, h. 1202-1203.
[8] Ibid, 1203-1205.
[9] Ibnu Majah al-Qazwini, Sunan
Ibnu Majah (Beirut: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 2004 ), h.122.
0 comments:
Post a Comment