A. Bermakmum dengan imam yang
tidak baik bacaannya
Diantara persyaratan seorang bisa
menjadi imam dalam shalat adalah memiliki kemampuan untuk membaca al-Qur’an
dengan benar dan memiliki sejumlah hafalan tertentu menjadi sebab sahnya
shalat.
Tidaklah sah imamnya seorang yang ummi (tidak bisa baca al- Qur’an)
terhadap orang yang bisa membacanya, tidaklah sah imamnya seorang yang bisu
terhadap orang yang bisa membaca al-Qur’an atau terhadap orang yang ummi karena
membaca adalah salah satu rukun didalam shalat. Tidaklah sah makmumnya seorang
yang pandai membaca al-Qur’an (qarī) dibelakang orang yang tidak pandai
membacanyav(al-Lahn) karena imam adalah penjamin dan yang
bertanggungjawab terhadap bacaan makmumnya dan ini tidaklah mungkin terdapat
didalam diri orang yang ummi.
Sebagaimana hadis-hadis Rasulullah
Saw. berikut ini:
عَنْ اِسْمَاعِيْلَ بْنِ رَجَاءٍ
قَالَ: سَمِعْتُ اَوْسَ بْنَ ضَمْعَجٍ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ اَبَا مَسْعُوْدٍ
يَقُوْلُ: قَالَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ ص: يَؤُمُّ اْلقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ
لِكِتَابِ اللهِ وَ أَقْدَمُهُمْ قِرَاءَةً. فَاِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمْ سَوَاءً
فَلْيَؤُمَّهُمْ أَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً. فَاِنْ كَانُوْا فِى اْلهِجْرَةِ سَوَاءً
فَلْيَؤُمَّهُمْ اَكْبَرُهُمْ سِنًّا. وَلاَ تَؤُمَّنَّ الرَّجُلَ فِى اَهْلِهِ وَ
لاَ فِى سُلْطَانِهِ. وَلاَ تَجْلِسْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ فِى بَيْتِهِ اِلاَّ اَنْ
يَأْذَنَ لَكَ اَوْ بِإِذْنِهِ. (رواه مسلم)[1]
Artinya: Dari Ismai'il bin Raja', ia berkata : Saya
pernah mendengar Aus bin Ḍam'aj berkata : Saya pernah mendengar Abu Mas'ud
berkata : Rasulullah Saw bersabda kepada kami, "Orang yang mengimami suatu
kaum hendaklah orang yang paling pandai diantara
mereka tentang kitab Allah dan lebih baik diantara mereka bacaannya. Jika
bacaan (kefahaman) mereka itu sama, maka hendaklah mengimami mereka orang
yang lebih dahulu diantara mereka berhijrah. Jika mereka itu sama didalam
hijrahnya, maka hendaklah mengimami mereka orang yang paling tua umurnya diantara
mereka. Dan janganlah kamu mengimami orang lain di dalam keluarganya, dan
jangan pula di dalam kekuasaannya. Dan janganlah kamu duduk ditempat
kehormatannya di dalam rumahnya, kecuali orang tersebut mengizinkan untukmu
atau dengan izinnya".
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص كَانَ يَقُوْلُ: ثَلاَ ثَةٌ لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُمْ
صَلاَةً: مَنْ تَقَدَّمَ قَوْمًا وَ هُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ. وَ رَجُلٌ أَتَى
الصَّلاَةَ دِبَارًا، وَ الدّبَارُ اَنْ يَأْتِيَهَا بَعْدَ اَنْ تَفُوْتَهُ،
وَرَجُلٌ اعْتَبَدَ مُحَرَّرَهُ. (رواه ابو داود)[2]
Artinya: Dari Abdullah bin 'Amr ia berkata :
Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bersabda, "Ada tiga golongan yang
Allah tidak mau menerima shalat mereka, yaitu : Orang yang mengimami
suatu kaum sedang mereka (orang yang diimami tersebut) benci kepadanya, dan
seseorang melaksanakan shalat yang sudah bukan waktunya, yaitu dia melaksanakan
shalat setelah waktu shalat tersebut hilang, dan orang yang menjadikan orang
merdeka sebagai budak".
Termasuk
dalam kategori orang ummi yang tidak boleh dijadikan imam ,
adalah:
a. Fasid ( فاسد ); yaitu orang yang bacaan al-Fatihahnya tidak benar,
baik keseluruhan maupun sebagian, ataupun hanya 1 (satu) huruf saja.
b. Aratt ( أرتّ ); yaitu orang yang bacaannya bisa menyebabkan
pergantian suatu huruf. Misalnya, ia meng-idgamkan huruf yang tidak
semestinya sehingga mengganti atau merubah redaksi kata, seperti kata (المُسْتَقِيْم) menjadi (المُتَّـقِيْم) dengan mengganti س
dengan ت karena idgam. Lain halnya dengan orang yang hanya meng-idgam-kan
saja tanpa mengganti huruf, seperti mentasydid huruf لatau كpada kata (مَالِك), maka ia bukan termasuk Aratt.
c. Alṡag ( ألثغ ), lebih umum
daripada Aratt- yaitu orang yang mengganti suatu huruf dengan huruf lain (الإِبْدَال), baik pergantian huruf itu disertai
idgham ataupun tidak. Misalnya, bacaan kata (المُسْتَـقِيْمِ) menjadi (المُثْـتَـقِيْم) dengan mengganti huruf sin menjadi tsa',
atau kata (اَلدِّيْنَ) menjadi (اَلَّذِيْنَ) yaitu dengan mengganti huruf دmenjadi ذatau
terbaca " ضين ".[3]
Kecuali, jika bacaan si makmum dan Imamnya sama-sama lahn , maka
shalatnya tetap sah dan kasus ini termasuk dharurat. Jika makmum meragukan atau tidak mengetahui kemampuan imamnya,
maka ia boleh tetap bermakmum kepada imam tersebut hanya pada shalat sirriyah
(dhuhur dan ashar) saja. Jika makmum tetap mengikuti imam yang ia ketahui
bacaannya lahn (salah) pada shalat jahriyah (subuh, maghrib dan ‘isya’),
maka si makmum harus mengulang shalatnya.[4]
d. Rakhwah
( رخوة ); yaitu orang yang lisannya tidak dapat mengucapkan
tasydid. Ia tidak boleh menjadi imam.[5]
Adapun imamnya seorang yang ummi
untuk orang yang ummi juga atau bisu maka diperbolehkan, ini merupakan
kesepakatan para fuqaha. Kemudian imamnya seorang yang selalu mengulang huruf “ ف ” atau “ ت ” atau yang melantunkan dengan suatu lantunan yang
tidak merubah arti maka ia makruh menurut para ulama madzhab Syafi’i dan
Hambali. Sedangkan menurut para ulama Hanafi bahwa seorang yang selalu
mengulang huruf “ ف ” atau “ ت “ atau yang mengucapkan huruf “ س “ menjadi “ ث “ atau “ ر ” menjadi " غ " atau
sejenisnya maka ia dilarang untuk menjadi imam. Menurut para ulama Maliki
keimaman mereka dibolehkan.[6]
Ibnu Qudamah mengatakan bahwa
barangsiapa yang meninggalkan satu huruf dari huruf-huruf dalam surat al-Fathihah
dikarenakan kelemahan membacanya atau merubahnya dengan huruf yang lain,
seperti merubah huruf “ ر ” menjadi “ غ” , orang
yang mengidghamkan satu huruf ke huruf lainnya atau melagukan dengan lagu yang
merubah makna seperti orang yang mengkasrahkan huruf “ " كpada" " اياك atau orang yang mendhammahkan huruf “ ت “ pada” انعمت “ dan tidak mampu memperbaikinya maka
orang itu adalah seperti seorang yang ummi dan tidak diperbolehkan bagi seorang
yang pandai membaca al-Qur’an bermakmum kepadanya. Dan diperbolehkan bagi
setiap mereka menjadi imam bagi orang yang memiliki bacaan seperti dirinya
karena keduanya adalah orang yang ummi, diperbolehkan bagi salah seorang dari
mereka berdua menjadi imam bagi seorang lainnya seperti dua orang yang tidak bisa
memperbaiki bacaannya sedikit pun. Sedangkan apabila seorang yang mampu
memperbaiki bacaannya namun ia tidak melakukannya maka shalatnya tidak sah
begitu juga dengan shalat orang yang bermakmum dengannya.[7]
Perihal masalah imam yang tidak fasih
bacaannya sebagaimana dimaksud juga diperkuat oleh pendapat Zainuddin al-Malibari dan
al-Bakri al-Damyaṭi dalam karya besar mereka kitab Fatḥul Mu’in dan I’ānah
al-Ṭālibīn.
(وَلَا ) قُدْوَةٌ (
قَارِئٌ بِأُمِّي ) وَهُوَ مِنْ يُخِلُّ بِالْفَاتِحَةِ أَوْ بَعْضُهَا ، وَلَوْ
بِحَرْفٍ مِنْهَا ، بِأَنْ يُعْجِزَ عَنْه بِالْكُلِّيَّةِ ، أَوْ عَنْ
إِخْرَاجِهِ عَنْ مُخْرِجِهِ ، أَوْ عَنْ أَصْلِ تَشْدِيدَةٍ ، وَإِنَّ لَمْ
يُمْكِنْهُ التَّعَلُّمُ وَلَا عِلْمٌ بِحالِهِ ... وَيَصِحُّ الِاقْتِدَاءُ
بِمَنْ يَجُوزُ كَوْنُهُ أُمِّيَّا إلّا إِذَا لَمْ يَجْهَرْ فِي جَهْرِيَّةٍ
فَيَلْزَمُهُ مُفَارَقَتُهُ ، فَإِنَّ اُسْتُمِرَّ جَاهِلَا حَتَّى سُلَّمِ
لزمتِهِ الاعادة ، مَا لَمْ يَتَبَيَّنْ أَنَّه قَارِئُ[8]
“Dan
tidak sah seorang qari' bermakmum pada seorang yang ummi, yaitu orang yang merusak
bacaan fatihahnya, atau sebagian dari fatihah itu, meski hanya satu huruf, baik
karena tidak bisa membaca secara keseluruhannya atau tidak sesuai makhrajnya,
atau tasydidnya, sekalipun hal itu dikarenakan ia sudah tidak mungkin untuk
belajar, dan makmum tidak mengerti akan keadaannya....Dan sah bermakmum kepada
Imam yang disangka Ummi, kecuali jika ketika shalat jahriyah imam tersebut tidak
mengeraskan bacaannya, untuk itu wajib mufaraqah, jika ia meneruskan shalatnya
bersama imam tersebut dalam keadaan tidak tahu sampai salam, maka ia wajib
mengulang shalatnya, jika sampai salam tidak jelas apakah dia qari'.”
) وَلَوْ
اِقْتَدَى بِمَنْ ظَنَّهُ أهْلًا ) لِلْإمَامَةِ ( فَبَانً خِلاَفُهُ ) كَأَنَّ
ظَنَّهُ قَارِئًا أَوْ غَيْرَ مأموم أَوْ رَجُلًا أَوْ عَاقِلًا فَبَانُ أُمِّيَّا
أَوْ مأموما أَوْ اِمْرَأَةٌ أَوْ مَجْنُونَا أَعَادَ الصَّلاَةَ وُجُوبًا
لِتَقْصيرِهِ بِتَرْكِ الْبَحْثِ فِي ذَلِكً ) قَوْلُهُ أُعَادُّ ) أَيٌّ المقتدي
وَهُوَ جَوَابٌ لَوْ وَمَحَلُّ الْإِعادَةِ إِنَّ بَانً بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنَ
الصَّلاَةِ فَإِنَّ(
بَانً فِي أَثْنائِهَا وَجَبَ اِسْتِئْنَافُهَا[9]
“Bila
ia (seorang laki-laki) bermakmum pada imam yang menurut prasangkanya ahli/ mahir
untuk menjadi imam tetapi kenyataannya berbeda seperti ia menyangka imamnya qari'
(ahli baca al-Qur’an) atau bukan berstatus makmum atau laki-laki, atau berakal
tapi kenyataannya imamnya ummi (tidak fasih baca al-Qur’an) atau berstatus
makmum pada orang lain atau perempuan atau gila maka ia wajib mengulang
shalatnya karena kelengahan atau kelalaiannya dalam rangka tidak mau meneliti
imamnya terlebih dahulu sebelum shalat.”
Dengan demikian tidak seharusnya
seorang imam memiliki kualitas bacaan yang buruk atau tidak benar didalam
pengucapan huruf-huruf al-Qur’an baik ketika membaca al-Fatihah yang merupakan
salah satu rukun shalat atau surat-surat lainnya sementara dibelakangnya
terdapat orang yang pandai membaca al-Qur’an. Hal ini dikarenakan akan mempengaruhi kesahan
shalat dirinya atau shalat makmum yang lebih pandai darinya sebagaimana
penjelasan diatas. Dalam hal ini makmum boleh niat mufaraqah dari imam, lalu
dia menyelesaikan shalatnya sendiri kecuali pada shalat jum’at. Dikarenakan
sahnya shalat seseorang didalam shalat berjama’ah dipengaruhi juga oleh
kualitas bacaan imam. Oleh karena itu setiap orang bertanggung jawab untuk
menentukan siapa imam shalatnya sehingga shalatnya menjadi sah.
B. Hukum
bermakmum pada imam yang dibenci
Orang yang
dibenci oleh ma'mumnya dimakruhkan untuk menjadi imam jika memang jumlah ma'mum
yang membencinya lebih banyak daripada ma'mum yang menyukainya, jadi jika
antara ma'mum yang membencinya dan ma'mum yang menyukainya jumlahnya sama, maka
hukumnya tidak makruh, begitu juga apabila ma'mum yang membencinya hanyalah
sebagian kecil saja, karena namanya manusia pasti ada saja yang tidak suka. Hukum ini berlaku tanpa memandang
apakah imam yang tidak disukai tersebut diangkat oleh pemimpin negara ataupun
tidak. Dalilnya adalah hadis nabi :
ثَلاَثَةٌ لاَ تُرْفَعُ لَهُمْ صَلاَتُهُمْ فَوْقَ
رُؤُوْسِهِمْ شِبْرًا رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ وَامْرَأَةٌ
بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَأَخَوَانِ مَتَصَارِمَانِ
Artinya: Tiga golongan yang tidak diangkat sejengkalpun shalat mereka ke atas kepala
mereka, seorang lelaki yang mengimami sebuah kaum dan mereka benci kepadanya,
seorang wanita yang bermalam dalam keadaan suaminya marah kepadanya, dan dua
orang bersaudara yang saling memutuskan hubungan. ( Sunan Ibnu Majah, No.981 ).
Dalam hadis lain disebutkan :
أَيُّمَا رَجُلٍ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ
لَمْ تَجُزْ صَلَاتُهُ أُذُنَيْهِ
Artinya: Dimana ada seorang lelaki yang menjadi imam dari suatu kaum, sedangkan
mereka membencinya, maka shalatnya tidak
melewati kedua telinganya.
Hukum makruh tersebut
berlaku jika memang kebencian itu disebabkan imam tersebut melakukan hal-hal
yang dilarang atau tidak pantas dilakukan menurut agama, seperti seorang
pemimpin yang dhalim, orang yang memaksakan diri untuk menjadi imam padahal ia
tidak berhak menempati posisi tersebut, orang yang tidak menjaga dirinya dari
najis, orang yang meninggalkan sunat-sunat hai'atnya shalat, orang yang
pekerjaannya tidak terpuji, orang yang menggauli orang-orang fasik atau hal-hal
yang serupa itu semua. Karena itulah jika kebencian tersebut bukan berdasarkan
agama, maka orang-orang yang membeci tersebutlah yang pantas untuk dicela.
Yang dimaksud dari hukum
makruh disini adalah makruh tanzih (makruh murni) jika memang kebanyakan ma'mum
tidak menyukainya, adapun jika semua ma'mum tidak suka kalau ia menjadi imam,
maka makruh tahrim (makruh yang mendekati keharaman ) baginya untuk menjadi
imam bagi mereka.
Kemakruhan diatas adalah
hukum yang diberlakukan hanya bagi imam saja, bukan bagi ma'mum, jadi
boleh-boleh saja mereka ma'mum pada imam tersebut, begitu juga hukum ini tak mempengaruhi
sah dan tidaknya shalat namun berpengaruh pada nilai shalat berjama’ah.
Dalam kitab al-Majmu’
an-Nawawi memaparkan:
أما أحكام المسألة فقال الشافعي وأصحابنا رحمهم الله
يكره أن يؤم قوما وأكثرهم له كارهون ولا يكره إذا كرهه الأقل وكذا إذا كرهه نصفهم
لا يكره صرح به صاحب الإبانة وأشار إليه البغوي وآخرون وهو مقتضى كلام الباقين
فإنهم خصوا الكراهة بكراهة الأكثرين قال أصحابنا وإنما تكره إمامته إذا كرهوه
لمعنى مذموم شرعا كوال ظالم وكمن تغلب على إمامة الصلاة ولا يستحقها أولا يتصون من
النجاسات أو يمحق هيئات الصلاة أو يتعاطى معيشة مذمومة أو يعاشر أهل الفسوق ونحوهم
أو شبه ذلك فإن لم يكن شئ من ذلك فلا كراهة والعتب على من كرهه هكذا صرح به
الخطابي والقاضي حسين والبغوي وغيرهم وحكى إمام الحرمين وجماعة عن القفال أنه قال
إنما يكره أن يصلي بقوم وأكثرهم له كارهون إذا لم ينصبه السلطان فإن نصبه لم يكره
وهذا ضعيف والصحيح المشهور أنه لا فرق وحيث قلنا بالكراهة فهي مختصة بالإمام أما
المأمومون الذين يكرهونه فلا يكره لهم الصلاة وراءه هكذا جزم به الشيخ أبو حامد في
تعليقه ونقله عن نص الشافعي[10]
C. Hukum
jama`ah imam dan makmum beda mazhab
Ketika terjadi perbedaan
mazhab antara Imam dan makmum, sedangkan imam melakukan hal-hal yang menurut
keyakinan makmum bisa membatalkan shalat, maka hukum berjama’ah dengan imam
tersebut diperinci sebagai berikut :
1. Jika perbedaannya pada furu’ ijtihadiyyah
yaitu hasil istimbat para imam. Misalnya, imam bermazhab Maliki dimana tidak
membaca basmalah dalam Fatihahnya sedangkan makmumnya bermazhab Syafi’i
yang menyatakan basmalah wajib dalam Fatihah, atau tidak meyakini kewajiban
tertib dalam wudhu’nya sedangkan makmumnya bermazhab Syafi’i yang mewajibkan
untuk tertib, dan misal-misal yang lain sekiranya sah menurut pandangan Imam
namun batal menurut pandangan makmum atau sebaliknya, maka terdapat perbedaan
pendapat di kalangan ulama sebagai berikut :
a. Menurut
pendapat Imam Qaffal memandang pada keyakinan Imam, sehingga apabila menurut
keyakinannya (dalam madzhab imam) sah maka sah juga bagi makmum untuk bermakmum
dengannya secara mutlak.
b. Menurut
pendapat Abu Ishaq al-Isfirayani tidak sah secara mutlak.
c. Jika Imam melakukan
persyaratan kesahan shalat menurut keyakinan makmum, maka sah, tapi jika
meninggalkannya, maka tidak sah.
d. Menurut
pendapat Imam Abu Ishaq al-Mirwazi, Abu Hamid, Al-Bandaniji, Qadhi Abu Thayyib dan
mayoritas ulama sekaligus sebagai pendapat yang paling kuat dari
pendapat-pendapat sebelumnya mendasarkan pada keyakinan makmum. Apabila makmum
mengetahui secara pasti bahwa imamnya melakukan sesuatu yang berakibat tidak
sahnya shalat imam, maka tidak sah. Namun jika mengetahui bahwa imam telah
sesuai dengan persyaratan sahnya shalat dalam keyakinan makmum atau
meragukannya, maka tetap sah.
2. Jika perbedaannya bukan furu’
ijtihadiyyah melainkan pada perkara lainnya seperti perbedaan antara imam dan
makmum dalam penentuan arah kiblat¸ maka tidak diperbolehkan satu sama lain
untuk shalat berjama’ah.
Ketika dinyatakan
berjama’ahnya tidak sah, maka konsekuensinya adalah tidak diperbolehkan bagi
makmum bahkan membatalkan shalatnya jika mengikuti imam disertai menunggu yang
lama tanpa melakukan apapun. Namun jika tidak mengikutinya atau mengikuti tanpa
menunggu yang lama, maka shalatnya tetap sah dan terhitung sebagai shalat munfarid
(sendirian).
Baca ibarat kitab-kitab berikut:
قوله: وطال عرفا انتظاره له(
أي لما ذكر من الفعل أو السلام لاجل أن يتبعه فيه. وخرج به ما إذا تابعه من غير انتظار أو بعد انتظار لكنه
غير طويل فلا يضر، ومثله إذا طال ولكنه لم يتابعه. والتقييد في مسألة الشك بالطول
والمتابعة هو المعتمد – كما في التحفة والنهاية والمغني – خلافا لجمع منهم
الاسنوي، والاذرعي، والزركشي – جعلوا الشك في نية القدوة كالشك في أصل النية،
فأبطلوا الصلاة بالطويل وإن لم يتابع، وباليسير حيث تابع. (قوله: بطلت صلاته) أي
لانه متلاعب لكونه وقفها على صلاة غيره بلا رابط بينهما. قال في النهاية: هل
البطلان عام في العالم بالمنع والجاهل أو مختص بالعالم ؟ قال الاذرعي: لم أر فيه
شيئا، وهو محتمل، والاقرب أنه يعذر. لكن قال في الوسيط: إن الاشبه عدم الفرق. وهو الاوجه. اه[11]
)انتظاره
إلخ) واعتبار الانتظار للركوع مثلا بعد القراءة الواجبة سم وع ش قوله:) له( أي للمتابعة شرح المنهج قول المتن (بطلت صلاته) هل
البطلان عام في العالم بالمنع والجاهل أم مختص بالعالم قال الاذرعي لم أر فيه شيأ
وهو محتمل والاقرب أنه يعذر الجاهل لكن قال أي الاذرعي في التوسط الاشبه عدم الفرق
وهو الاوجه شرح م ر ا ه سم قال ع ش بقي ما لو ترك نية الاقتداء أو قصد أن لا يتابع
الامالغرض ما فسها عن ذلك فانتظره على ظن أنه مقتد به فهل تضر متابعته حينئذ أو
فيه نظر ولا يبعد عدم الضرر ثم رأيت الاذرعي في القوت ذكر أن مثل العالم والجاهل
العامد والناسي فيضر ا ه قوله: (ذلك) أي المتابعة مغني وشرح المنهج قوله: (أو
انتظره يسيرا) أي مع المتابعة سم قوله: (أو كثيرا بلا متابعة) وينبغي أن يزيد أو
كثيرا وتابع لا لاجل فعله أخذا من قوله له سم وع ش عبارة البجيرمي ولم يذكر محترز
قوله للمتابعة ومحترزه ما لو انتظر كثير الاجل غيرها كأن كان لا يحب الاقتداء
بالامام لغرض ويخاف لو انفرد عنه حسا صولة الامام أو لوم الناس عليه لاتهامه
بالرغبة عن الجماعة فإذا انتظر الامام لدفع نحو هذه الريبة فلا يضر كما قرره شيخنا
الحفني ا ه أي كما في المحلي والنهاية والمغني ما يفيده[12]
Bagaimana jika seorang
imam ketika di akhir shalat ingat kalau dirinya punya hadas atau
najis,...Apakah harus menyampaikan pada ma'mum? Apakah si imam dan ma'mum harus
mengulang shalatnya?
Jika najis yang dibawa
oleh imam itu tampak jelas sekira makmum memperhatikannya, najis tersebut dapat
terlihat, maka imam wajib memberitahu dan makmum wajib mengulang shalat, namun
menurut pendapat Imam Nawawi tidak wajib i’adah (mengulangi shalat). Namun jika
najis tersebut samar, maka :
Ø Bila makmumnya
bukan masbuk, imam tidak wajib memberitahu dan makmum tersebut tidak pula wajib
i’adah, baik diberitahu ataupun tidak, dan
Ø Bila masbuk
(makmum yang tidak cukup waktu untuk membaca Fatihah di saat berdirinya imam),
imam wajib memberitahu dan si masbuk manakala belum salam atau sesudah salam
tetapi masih dalam tempo yang pendek, maka ia harus menambah satu reka’at dan
sujud sahwi dan manakala dalam tempo yang lama, maka ia harus i’adah.
Dalam semua kasus
tersebut sudah barang tentu imam wajib i’adah.
)فَائِدَةٌ ( يَجِبُ عَلَى
اْلإِمَامِ إِذَا كَانَتِ النَّجَاسَةُ ظَاهِرَةً إِخْبَارُ الْمَأْمُوْمِ
بِذَلِكَ لِيُعِيْدَ صَلاَتَهُ أَخْذًا مِنْ قَوْلِهِمْ: لَوْ رَأَى عَلَى ثَوْبِ مُصَلٍّ نَجَاسَةً وَجَبَ إِخْبَارُهُ وَإِنْ لَمْ
يَكُنْ آثِمًا اهاع ش عَلَى م ر[13]
“(Faedah), Wajib bagi imam yang membawa najis
tampak jelas, memberitahu makmum perihal tersebut agar mengulang shalatnya,
berdasarkan perkataan ulama, andaikan seseorang melihat najis pada baju
seseorang yang sedang shalat maka ia wajib memberitahunya meskipun tidak
berdosa.”
وَصَحَّحَ النَّوَوِيُّ فِي التَّحْقِيْقِ عَدَمَ
وُجُوْبِ اْلإِعَادَةِ مُطْلَق)قَوْلُهُ مُطْلَقًا(
سَوَاءٌ كَانَ الْخَبَثُ الَّذِيْ تَبَيَّنَ فِي اْلإِمَامِ ظَاهِرًا أَوْ
خَفِيًّا [14]
“al-Nawawi di dalam
kitab al-Tahqiq membenarkan bahwa makmum tidak wajib mengulang shalat
secara mutlak. Kata ‘mutlak‘ baik najis yang dibawa imam itu tampak jelas
ataupun samar .”
لاَ إِنْ بَانَ ذَا حَدَثٍ وَلَوْ حَدَثًا أَكْبَرَ
وَذَا نَجَاسَةٍ خَفِيَّةٍ فِيْ ثَوْبِهِ أَوْ بَدَنِهِ فَلاَ تَجِبُ اْلإِعَادَةُ
عَلَى الْمُقْتَدِيْ لانْتِفَاءِ التَّقْصِيْرِمِنْهُ فِىْ ذَالِكَ[15]
“Tidak wajib i’adah jika
imamnya sedang berhadas sekalipun hadas besar dan membawa najis yang samar di
pakaian atau badan, maka tidak wajib mengulang shalat bagi makmum karena tidak
adanya kesalahan dari makmum dalam hal tersebut.”
وَلَوْ صَلَّى بِنَجْسٍ غَيْرِ مَعْفُوٍّ عَنْهُ لَمْ
يَعْلَمْهُ أَوْ عَلِمَهُ ثُمَّ نَسِيَ فَصَلَّى ثُمَّ تَذَكَّرَ وَجَبَتِ
اْلإِعَادَةُ فِي الْوَقْتِ أَوْ بَعْدَهُ لِتَفْرِيْطِهِ بِتَرْكِ التَّطْهِيْرِ
وَتَجِبُ إِعَادَةُ كُلِّ صَلاَةٍ تَيَقَّنَ فِعْلَهَا مَعَ النَّجْسِ، بِخِلاَفِ
مَا إِذَا احْتَمَلَ حُدُوْثُهُ بَعْدَهَا فَلاَ تَجِبُ إِعَادَتُهَا، لَكِنْ
تُسَنُّ كَمَا قَالَهُ فِي الْمَجْمُوْعِ[16]
“Andaikan seseorang
shalat tidak tahu bahwa dirinya mem-bawa najis yang tidak dimaafkan, atau sebelumnya ia tahu kemudian
lupa lalu shalat, kemudian ingat kembali maka wajib mengulang shalat ketika
ingat atau sesudahnya, karena kesalahannya dengan meninggalkan bersuci. Begitu
juga wajib mengulang tiap-tiap shalat yang ia yakini mengerjakannya dalam
keadaan najis, berbeda jika najis tersebut dimungkinkan adanya setelah shalat
maka tidak wajib mengulang, namun disunatkan sebagaimana keterangan didalam al-Majmu’.”
Wallāhu A’lam
[1] Imam Muslim, Ṣaḥih, h. 465.
[2] Abu Daud, Sunan, h. 162
[3] al-Bakri Muhammad ad-Dimyaṭi, I’ānah, Juz II, h. 43-44.
[4] Nawawi al-Bantani, Nihayah,
Juz. I,
h. 116.
[5] Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akḥyar fi Ḥalli Gayatil Ikhtiṡar (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,, 1994), h.
110.
[6] Wazārah al-Auqāf wa
al-Syiuna al-Islāmiyah , al-Mausû’ah al-Fiqhiyah, Juz II (Kuwait:
wazārah al-Auqāf wa al-Syiuna
al-Islāmiyah, 2007), h. 2149.
[7] Ibnu Qudamah, al-Mugni, Juz II (Riyadh: Hajar, 1987), h.
411.
[8] Zainuddin al-Malibari, Fathul, Juz II, h. 43.
[9] al-Bakri
Muhammad Syaṭa ad-Dimyaṭi, I’ānah, Juz II, h. 45. Lihat juga dalam, Ibnu
Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, Juz. I (Beirut, Dār al-Fikri, t.t.), h. 143-144.
[11] al-Bakri Muhammad ad-Dimyati, I’ānah, Juz. II, h. 25.
[12] Syarwani, Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Juz. II (Mesir: Mathba’ah Mustafa Muhammad, t.t.), h. 327.
[13] Ibrahim Bujairimi, al-Bujairimi ‘ala al-Minhaj, Juz. I (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.), h. 310.
[14] al-Bakri Muhammad ad-Dimyati, I’ānah, Juz. II, h. 46.
[15] Zakariya al-Anṡari, Fath al-Wahab,
Juz. I, h. 63.
[16] Ibid, h. 50.
0 comments:
Post a Comment