Home » » Pilar Shalat Yang Ke 10, 11, Dan 12 (Duduk Tahyat Akhir, Bacaan Tahyat Akhir, Dan Shalawat)

Pilar Shalat Yang Ke 10, 11, Dan 12 (Duduk Tahyat Akhir, Bacaan Tahyat Akhir, Dan Shalawat)


   A.    Kaifiat duduk tahyat akhir dan bacaannya dan Shalawat
Duduk tahyat akhir yaitu duduk dengan meletakkan pantat pada tempat duduknya dengan memasukkan kaki kiri di bawah kaki kanan yang ditegakkan pada ujung jari-jarinya, lalu tangan kanan diatas paha kanan dengan menggenggam jari-jarinya, kecuali jari telunjuk yang dikeluarkan menunjuk ke kiblat sebagai isyarat dan jari tengah bertemu dengan ibu jari. Adapun tangan kiri diletakkan diatas paha kiri dan ujung jari-jarinya menyentuh lutut. Dan duduk beginilah yang biasa disebut dengan duduk tawarruk.

Diangkatnya jari telunjuk dalam tahyat agar terkumpul isyarat tauhid dalam dirinya baik secara keyakinan, ucapan dan perbuatan.
و وضع يديه في (قعود)  تشهديه على طرف ركبتيه ( بحيث تسامته رؤوس الأصابع)  ناشرا أصابع يسراه (مع ضم لها)  وقابضا (أصابع)  يمناه إلا المسبحة (قوله إلا المسبحة) إنما سميت مسبحة لأنها يشار بها للتوحيد والتنزيه عن الشريك وخصصت بذلك لاتصالها بنياط القلب أي العرق الذي فيه فكأنها سبب لحضوره[1]
Dan meletakkan kedua tangannya dalam duduknya pada dua tasyahudnya dipinggir kedua lututnya sekira sejajar dengan pucuk-pucuk jemarinya, dengan membeber dan mengumpulkan jemari-jemari tangan kirinya serta menggenggam jemari-jemari tangan kanannya kecuali jari penunjuk. (Keterangan kecuali jari penunjuk) dinamakan musabbiḥah karena dia adalah jemari yang digunakan untuk memberikan isyarat pada tauhid dan penyucian Allah dari segala kesyirikan, dan dalam tasyahud (tahyat) jari yang dipakai hanya jari penunjuk karena pertautannya dengan hati dalam arti didalamnya terdapat otot yang bertautan dengan hati, dengan demikian diharapkan dapat berakibat khusyu’nya seseorang dalam shalat.
وَيُدِيمُ رَفْعَهَا وَيَقْصِدُ مِنْ ابْتِدَائِهِ بِهَمْزَةِ إلَّا اللَّهُ أَنَّ الْمَعْبُودَ وَاحِدٌ ، فَيَجْمَعُ فِي تَوْحِيدِهِ بَيْنَ اعْتِقَادِهِ وَقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ [2].
Dan langgengkan mengangkat jari, berkehendaklah saat mulai mengangkatnya ketika hamzahnya lafadz illallāh bahwa Zat Yang disembah adalah Esa, dengan demikian berhimpunlah segala tauhid dalam dirinya baik antara keyakinan, ucapan dan perbuatan.
Mengapa saat selesai shalawat pada tahyat akhir diiringi dengan shalawat ibrahimiyah apakah ada ikatan khusus antara Nabi Muhammad Saw dengan Nabi Ibrahim ataukah ada alasan lain ?
Dalam Fath al-Wahhāb / Hasyiyah al-Jamal dijelaskan:[3]
وَخَصَّ إبْرَاهِيمَ بِالذِّكْرِ ؛ لِأَنَّ الرَّحْمَةَ وَالْبَرَكَةَ لَمْ تَجْتَمِعَا لِنَبِيٍّ غَيْرِهِ قَالَ تَعَالَى (رَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ) (قَوْلُهُ وَخَصَّ إبْرَاهِيمَ بِالذِّكْرِ إلَخْ )  عِبَارَةُ الْأُجْهُورِيِّ فِي شَرْحِ مُخْتَصَرِ ابْنِ أَبِي جَمْرَةَ نَصُّهَا وَإِنَّمَا خَصَّ إبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ بِذِكْرِهِ وَآلِهِ فِي الصَّلَاةِ لِوَجْهَيْنِ:  أَحَدُهُمَا أَنَّ نَبِيَّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ رَأَى لَيْلَةَ الْمِعْرَاجِ جَمِيعَ الْأَنْبِيَاءِ وَسَلَّمَ عَلَى كُلِّ نَبِيٍّ وَلَمْ يُسَلِّمْ أَحَدٌ مِنْهُمْ عَلَى أُمَّتِهِ غَيْرَ إبْرَاهِيمَ فَأَمَرَنَا نَبِيُّنَا أَنْ نُصَلِّيَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ آخِرَ كُلِّ صَلَاةٍ إلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ مُجَازَاةً لَهُ عَلَى إحْسَانِهِ
Dikhususkannya penuturan Nabi Ibrahim karena rahmat dan barakah tidak akan terkumpul pada Nabi selain Nabi Ibrahim, firman Allah Swt:
'رحمة الله و بركاته عليكم أهل البيت'
ucapan mushanif wakhaṣṣa Ibrahim... الخ, Ibarat al-Ajhuriyyi Dalam syarah kitab mukhtaṣar bin abi jamrah yang telah di nash oleh beliau sesungguhnya dikhususkannya penuturan Nabi Ibrahim As dan keluarganya dalam shalawat karena ada dua wajah, yang pertama sesungguhnya Nabi Kita 'alaihi ṣalātu wassalam pada malam isra dan mi'raj beliau melihat para Nabi lalu beliau mengucapkan salam pada mreka namun tidak ada satupun dari mereka yang mengucapkan salam pada umat Nabi Muhammad selain Nabi Ibrahim As, maka Nabi kita memerintahkan kepada kita agar kita berṣalawat kepada beliau ( Nabi Ibrahim) dan keluarganya disetiap akhir ṣalat sampai hari kiamat sebagai balasan kebaikan untuk beliau.
الثَّانِي: أَنَّ إبْرَاهِيمَ لَمَّا فَرَغَ مِنْ بِنَاءِ الْبَيْتِ جَلَسَ مَعَ أَهْلِهِ فَبَكَى وَدَعَا فَقَالَ اللَّهُمَّ مَنْ حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ مِنْ شُيُوخِ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ فَهَبْهُ مِنِّي السَّلَامَ فَقَالَ أَهْلُ بَيْتِهِ: آمِينَ ، قَالَ إِسْحَاقُ: اللَّهُمَّ مَنْ حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ مِنْ كُهُولِ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ فَهَبْهُ مِنِّي السَّلَامَ فَقَالُوا: آمِينَ ثُمَّ قَالَ إسْمَاعِيلُ: اللَّهُمَّ مَنْ حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ مِنْ شَبَابِ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ فَهَبْهُ مِنِّي السَّلَامَ فَقَالُوا:  آمِينَ فَقَالَتْ سَارَةُ: اللَّهُمَّ مَنْ حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ مِنْ نِسَاءِ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ فَهَبْهُ مِنِّي السَّلَامَ فَقَالُوا: آمِينَ فَقَالَتْ هَاجَرُ اللَّهُمَّ مَنْ حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ: مِنْ الْمَوَالِي مِنْ النِّسَاءِ وَالرِّجَالِ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ فَهَبْهُ مِنِّي السَّلَامَ فَقَالُوا: آمِينَ ، فَلَمَّا سَبَقَ مِنْهُمْ ذَلِكَ أُمِرْنَا بِالصَّلَاةِ عَلَيْهِمْ مُجَازَاةً لَهُمْ انْتَهَتْ .
Sesungguhnya Ibrahim manakala selesai dari membangun baitullah duduk beserta keluarganya, maka beliau menangis seraya berdo'a, beliau berkata Ya Allah barang siapa yang berhaji akan rumah engkau ini (ditempat ini) dari golongan yang tua-tua dari umat Muhammad maka berikan (kirimkan) kepadanya salam dariku .maka berkata ahli keluarganya Ȃmīn, berkata Ishak, Ya Allah barang siapa yang berhaji dirumah engkau ini, dari golongan yang setengah baya dari umat muhammad, maka berikan (kirimkan) kepadanya salam dariku, maka keluarganya berkata Ȃmīn , kemudian berkata Ismail Ya Allah barang siapa berhaji dirumah engkau ini para pemuda dari golongan umat Muhammad, maka berikan (kirimkan) kepadanya salam dariku, maka keluarnganya berkata Ȃmīn. kemudian berkata Sarah Ya Allah barang siapa berhaji dirumah engkau ini golongan perempuan dari Umat Muhammad, maka berikan (kirimkan) kepadanya salam dariku, maka keluarganya berkata Ȃmīn , lalu berkata Hajar Ya Allah barang siapa berhaji dirumah engkau ini para maula(majikan)dari golongan umat Muhammad, maka berikan (kirimkan) kepadanya salam dariku, maka keluarganya berkata Ȃmīn, manakala telah terdahulu dari mereka oleh yang demikian itu (ucapan salam), maka kita diperintahkan dengan shalawat atas mereka sebagai balasan kepada mereka.

B.  Hukum menggerak-gerakkan jari saat tasyahud
Hukum menggerak-gerakkan jari saat tasyahud adalah Makruh, kecuali menurut Imam Malik (madzhab malikiyyah) sebagaimana dijelaskan pada ibarat kitab berikut:
قَوْلُهُ (وَلَا يُحَرِّكُهَا ) لِأَنَّهُ مَكْرُوهٌ خِلَافًا لِلْإِمَامِ مَالِكٍ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى .قَوْلُهُ : ( لِمَا قَامَ إلَخْ ) وَهُوَ أَنَّ الْمَطْلُوبَ فِي الصَّلَاةِ عَدَمُ الْحَرَكَةِ ، أَوْ لِأَنَّ التَّحْرِيكَ يُذْهِبُ الْخُشُوعَ ، وَتَحْرِيكُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهَا لِبَيَانِ الْجَوَازِ[4] .
)Dan janganlah digerak-gerakkan) karena hukumnya makruh berbeda menurut Imam malik r.h. karena menggerak-gerakkannya menyalahi tujuan shalat (tenang) atau karena dapat menghilangkan kekhusyuan, sedang gerakan jari rasulullah Saw. saat tahiyyah (dimungkinkan) hanya sekedar menerangkan kebolehannya.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa tujuan isyarah dengan mengangkat jari telunjuk adalah untuk mengesakan Allah dan makruh menggerak-gerakkan jari.
Inilah bacaan tahyat akhir dan shalawat:
اَلتَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيّبَاتُ للهِ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ اَيُّهَا النَّبِىُّ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا  وَ عَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ، اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ،: اَللّهُمَّ صَلّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ. وَ بَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ، فِى الْعَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْد.
Segala kehormatan, segala berkah, segala 'ibadah dan segala yang baik-baik itu kepunyaan Allah. Mudah-mudahan keselamatan dilimpahkan kepada-mu wahai Nabi, dan begitu pula rahmat Allah dan berkah-Nya. Mudah-mudahan keselamatan dilimpahkan kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang shalih-shalih. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan (yang sebenarnya) melainkan Allah dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad itu utusan Allah. Ya Allah, berilah shalawat kepada Nabi Muhammad dan kepada keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada Nabi Ibrahim dan kepada keluarga Nabi Ibrahim. Dan berilah berkah kepada Nabi Muhammad dan kepada keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Nabi Ibrahim dan kepada keluarga Nabi Ibrahim. Di dalam semesta alam ini, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia.

C.       Hukum menambah lafadz sayyidinā pada tasyahud shalat
Shalawat kepada Nabi Saw. dalam tasyahud akhir hukumnya wajib. Sedangkan shalawat kepada keluarga beliau, hukumnya adalah sunnat menurut ulama al-Syafi`iyah.[5] Para ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan sunnat menambah perkataan sayyidina pada lafadz shalawat tersebut. Dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, salah satu kitab Syafi’iyah dikatakan : “Pendapat yang mu’tamad dianjurkan menambah perkataan sayyidina, karena padanya ada sopan santun.”[6]. Sedangkan dari kitab ulama Hanafiyah antara lain tersebut dalam Ḥasyiah ‘ala Muraqi al-Falah karya Ahmad al-Ṭahṭawi al-Hanafi, beliau mengatakan : “Berkata pengarang  kitab al-Dar , disunatkan membaca perkataan sayyidina.”.[7]
Menurut Imam Kurdi, Ibnu Hajar, Azziyādi, ar-Ramli dan Imam Halabi (dari kalangan Syafi’iyah) lebih utama menambahkan lafadz “sayyidinā” sebelum lafadz Muhammad.
وقوله وأن محمدا رسول الله الأولى ذكر السيادة لأن الأفضل سلوك الأدب وحديث لا تسودوني في صلاتكم... باطل[8]
Yang lebih utama menambahkan lafadz sayyidinā saat kalimat “Wa Anna Muhammadar Rasûlullāh” karena yang lebih utama menjaga etika pada Rasulullah, sedang hadis yang berbunyi “Janganlah kalian menyebut kata sayyid untukku saat shalat” adalah hadis batal.
وعبارة البرماوي ولا يجوز إبدال كلمة منه كالنبي والله ومحمد والرسول والرحمة والبركة بغيرها ولا أشهد بأعلم ولا ضمير علينا بظاهر ولا إبدال حرف منه ككاف عليك باسم ظاهر ولا ألف أشهد بنون ولا هاء بركاته بظاهر وجوزه بعضهم في الثاني ويجوز إبدال ياء النبي بالهمز ويضر إسقاطهما معا إلا في الوقف كما قاله العلامة الزيادي ويضر إسقاط تنوين سلام المنكر خلافا للعلامة ابن حجر ولا يضر تنوين المعرف ولا زيادة بسم الله قبل التشهد بل تكره فقط ولا يضر زيادة ميم في عليك ولا يا النداء قبل أيها ولا وحده لا شريك له بعد أشهد أن لا إله إلا الله لورود ذلك في خبر ولا زيادة سيدنا قبل محمد هنا وفي الصلاة عليه الآتية بل هو أفضل لأن فيه مع سلوك الأدب امتثال الأمر وزيادة وأما حديث لا تسيدوني في الصلاة فباطل باتفاق الحفاظ[9]
Redaksi kitab al-Barmawi “Tidak boleh mengganti kalimat-kalimat yang terdapat pada bacaan tasyahud seperti mengganti lafadz annabī, Allah, Muhammad, Arrasûl, arrahmat, al-Barakah, lafadz asyhadu diganti a’lamu, ḍamir yang terdapat pada ‘alainā diganti isim ḍahir dan lain-lain. Juga tidak boleh mengganti huruf-huruf yang terdapat pada bacaan tasyahud seperti huruf “kaf”nya ‘alaika diganti isim ḍahir, “alif”nya asyhadu diganti dengan nun, huruf “ha’” nya wabarakātuh diganti isim ḍahir (namun sebagian ulama memperbolehkannya dalam hal ini). Boleh mengganti huruf “ya’”nya lafadz annabi dengan hamzah namun bahaya menghilangkankan keduanya (ya’ dan hamzah) kecuali bila waqaf seperti yang diterangkan oleh az-Ziyādi, bahaya juga menggugurkan tanwin nakirahnya lafadz salāmun berbeda dengan Imam Ibnu Hajar. Tidak bahaya mendatangkan tanwin muarraf, menambahi basmalah sebelum tasyahud (hanya saja makruh), tidak bahaya menambahkan huruf mim pada lafadz ‘alaika, huruf ya nidā’ sebelum lafadz ayyuhā dan menambahkan waḥdahû lā syarīka lah setelah kalimat an lā ilāha illallāh karena semuanya ada dalam keterangan hadis. Tidak bahaya juga menambahkan lafadz sayyidinā sebelum lafadz Muhammad, juga saat membaca salawat bahkan hukumnya lebih utama karena yang lebih utama menjaga etika pada Rasulullah Saw. sedang hadis yang berbunyi “Janganlah kalian menyebut kata sayyid untukku saat shalat” adalah hadis batal.
Ada sebagian kaum muslimin yang berpendapat penambahan perkataan ”sayyidina” dalam tasyahud shalat merupakan perbuatan bid’ah yang harus dijauhi, berargumentasi bahwa penambahan tersebut bertentangan dengan perintah Rasulullah Saw. yang mencukupkan penyebutan nama Muhammad tanpa tambahan ”sayyidina” pada tata cara shalawat kepada beliau, sebagaimana disebut dalam hadis riwayat Bukhari berikut ini:
لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُه[10]
Artinya : Janganlah kamu menyanjungku sebagaimana sanjungan Nasrani terhadap Ibnu Maryam, sesungguhnya aku ini seorang hamba, maka katakanlah aku hamba Allah dan Rasul-Nya.
Badruddin al-Aini al-Hanafi dalam menafsir hadis di atas mengatakan :”Sabda Rasulullah Saw ”sebagaimana sanjungan Nashrani”, maksudnya, pada dakwaan tentang Isa sebagai tuhan dan lainnya. Sedangkan sabda Rasulullah Saw, ”Aku hamba-Nya dan seterusnya” maka itu termasuk merendah diri dan melahirkan sifat tawadhu’”.[11] Dengan demikian, hadis tersebut tidak tepat dijadikan hujjah melarang menyebut sayyidina kepada Rasulullah Saw, baik dalam dalam shalat maupun luar shalat. Karena larangan dalam hadis tersebut adalah dalam konteks menyanjung Nabi Saw. sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam, yakni kaum Nashrani memanggil Isa as. sebagai tuhan.
Seandainya mereka memahami bahwa perintah dalam hadis tersebut merupakan perintah bershalawat kepada Rasulullah Saw. dengan tidak boleh menambah perkataan ”sayyidina”, maka perintah Rasulullah ini termasuk dalam kategori perintah yang bertentangan dengan sikap adab kita kepada beliau sendiri. Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya. Sebagian ulama berpendapat lebih baik mengikuti perintah, sedangkan sebagian lain berpendapat lebih baik mengikuti adab.[12] Pendapat lebih baik mengikuti adab kita kepada Rasulullah lebih rajih dibandingkan pendapat lebih baik mengikuti perintah beliau. Amirulmukminin Abu Bakar r.a. pernah pada suatu ketika sedang mengimami shalat manusia, tidak mengikuti perintah Rasulullah Saw untuk tetap menjadi imam, bahkan beliau tetap mundur dari imam mempersilakan  Rasulullah maju menjadi imam. Sikap Abu Bakar tetap mundur tidak mengikuti perintah Rasulullah tersebut sebagai sikap adab beliau kepada Rasulullah sebagaimana tercermin dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim secara lengkap di bawah ini :
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ إِلَى بَنِي عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ لِيُصْلِحَ بَيْنَهُمْ فَحَانَتِ الصَّلَاةُ فَجَاءَ الْمُؤَذِّنُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ: أَتُصَلِّي بِالنَّاسِ فَأُقِيمُ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ فَصَلَّى أَبُو بَكْرٍ فَجَاءَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ فِي الصَّلَاةِ فَتَخَلَّصَ حَتَّى وَقَفَ فِي الصَّفِّ، فَصَفَّقَ النَّاسُ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ لَا يَلْتَفِتُ فِي الصَّلَاةِ، فَلَمَّا أَكْثَرَ النَّاسُ التَّصْفِيقَ الْتَفَتَ فَرَأَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشَارَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِ امْكُثْ مَكَانَكَ، فَرَفَعَ أَبُو بَكْرٍ يَدَيْهِ فَحَمِدَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى مَا أَمَرَهُ بِهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ ذَلِكَ، ثُمَّ اسْتَأْخَرَ أَبُو بَكْرٍ حَتَّى اسْتَوَى فِي الصَّفِّ، وَتَقَدَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى، ثُمَّ انْصَرَفَ فَقَالَ: «يَا أَبَا بَكْرٍ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَثْبُتَ إِذْ أَمَرْتُكَ» قَالَ أَبُو بَكْرٍ: مَا كَانَ لِابْنِ أَبِي قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا لِي رَأَيْتُكُمْ أَكْثَرْتُمُ التَّصْفِيقَ؟ مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلَاتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ[13]»
Artinya : Dari Sahal bin Sa'd As Sa'idi, bahwa suatu hari Rasulullah Saw. pergi menemui Bani 'Amru bin 'Auf untuk menyelesaikan masalah di antara mereka. Kemudian tiba waktu shalat, lalu ada seorang mu'adzin menemui Abu Bakar seraya berkata, "Apakah engkau mau memimpin shalat berjama'ah sehingga aku bacakan iqamatnya?" Abu Bakar menjawab, "Ya." Maka Abu Bakar memimpin shalat. Tak lama kemudian datang Rasulullah Saw, sedangkan orang-orang sedang melaksanakan shalat. Lalu beliau bergabung dan masuk ke dalam shaf. Orang-orang kemudian memberi isyarat dengan bertepuk tangan, namun Abu Bakar tidak bereaksi dan tetap meneruskan shalatnya. Ketika suara tepukan semakin banyak, Abu Bakar berbalik dan ternyata dia melihat ada Rasulullah Saw. Rasulullah memberi isyarat yang maksudnya: 'Tetaplah kamu pada posisimu'. Abu Bakar mengangkat kedua tangannya lalu memuji Allah atas perintah Rasulullah tersebut. Kemudian Abu Bakar mundur dan masuk dalam barisan shaf lalu Rasulullah maju dan melanjutkan shalat. Setelah shalat selesai, beliau bersabda: "Wahai Abu Bakar, apa yang menghalangimu ketika aku perintahkan agar kamu tetap pada posisimu?" Abu Bakar menjawab, "Tidaklah patut bagi anak Abu Qahafah untuk memimpin shalat di depan Rasulullah". Maka Rasulullah  bersabda: "Mengapa kalian tadi banyak bertepuk tangan?. Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan untuk wanita."
Berdasarkan pendapat yang rajih ini yang didasarkan kepada hadis shahih riwayat Bukhari dan Muslim dan para fuqaha Syafi’iyah dan Hanafiyah di atas, maka menambah “sayyidina” pada tasyahud shalat yang merupakan sikap adab kita kepada Rasulullah Saw. lebih utama dilakukan dibandingkan bershalawat kepada Rasulullah tanpa tambahan “sayyidina” yang merupakan perintah Rasulullah.




Footnot:
[1] al-Bakri Muhammad, I’ānah, Juz. I, h. 174.
[2] Ibrahim Bujairumi, Ḥasyiah al-Bujairimi, Juz IV, h. 394 .
[3] Zakariya al-Anṡari, Fatḥ , Juz. III, h. 428. Lihat, Sulaiman al-Jamal, Ḥasyiah al-Jamal ‘ala Syarḥ al-Manhaj, Juz. III (Beirut.: Dār Iḥya al-Turaṣi al-Arabi, t.t.), h. 428.

[4] Qalyubi, Ḥasyiah Qalyubi, Juz. II, h. 370.
[5] Ibrahim Bujairumi, Ḥasyiah al-Bujairimi, Juz II, h. 188 .
[6] Ibrahim al-Bajuri, Ḥasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, Juz. I (Singapura: al-Haramain, t.t.), h. 162.
[7] Ahmad al-Ṭahṭawi al-Hanafi, Ḥasyiah ‘ala Muraqi al-Falah, Juz. I (Maktabah Syamilah), h. 181.
[8] al-Bakri Muhammad, I’ānah, Juz. I, h. 169.
[9] Sulaiman al-Jamal, Ḥasyiah al-Jamal, Juz. II, h. 335.
[10] Imam al-Bukhārī, Ṡaḥīḥ, Juz. IV, h. 204.
[11] Badruddin al-‘Aini al-Hanafi, ‘Umdah al-Qary Syaraḥ Ṡaḥīḥ al-Bukhārī, Juz. XXIII (Maktabah Syamilah), h. 441.
[12] Ibnu Qasim al-‘Ubadī, Ḥasyiah al-‘Ubadī ‘ala Tuḥfah al-Muhtaj, Juz. II (Mesir: Maṭba’ah Mustafa Muhammad, t.t.), h. 86.
[13] Imam Bukhari, Ṡaḥīḥ, Juz. I, h. 137. Lihat Imam Muslim, Ṡaḥīḥ, Juz. I, h. 316.

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.