A. Pendahuluan
Isbal adalah menurunkan ujung kain ke bawah mata
kaki. Hukumnya adalah makruh jika tidak dengan maksud sombong dan haram jika
dengan maksud sombong.
Dalam pembahasan ini akan diuraikan hukum isbal menurut pandangan
beberapa ulama. Tujuannya yaitu untuk meluruskan beberapa pendapat atau
pandangan tentang isbal, dan menghilangkan keragu-raguan pada masyarakat
awam.
B. Hukum isbal
Berikut pendapat para ulama mengenai hukum isbal,
yaitu antara lain :
1. Qalyubi :
Disunatkan
pada lengan baju memanjangnya sampai kepada pergelangan tangan dan pada ujung
kain sampai kepada separuh betis. Makruh melebihi atas mata kaki dan haram
dengan niat sombong.[1]
2. an-Nawawi :
Dhahir
hadis yang membatasi menurun kain dengan adanya sifat sombong, menunjukkan
bahwa hukum haram itu khusus dengan adanya sifat sombong.[2]
lebih lanjut dia mengatakan dalam kitab Rauḍah al-Ṭālibīn : Haram memanjang
pakaian melewati dua mata kaki dengan kesombongan dan makruh dengan tanpa
kesombongan. Tidak beda yang demikian pada shalat atau lainnya. Celana dan kain
sarung pada hukum pakaian.[3]
Berdasarkan keterangan
di atas, menurunkan ujung kain kepada bawah mata kaki (isbal) hukumnya makruh
apabila tidak melahirkan sifat sombong, dan haram apabila menimbulkan sikap
sombong.
Sehubungan dengan ini Allah
Swt berfirman:
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ
وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ
لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ[4]
Artinya
: Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian
untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah itu perhiasan. Dan pakaian taqwa
itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda kebesaran
Allah. Mudah-mudahan mereka selalu ingat.
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ
اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ[5]
Artinya
: Dan janganlah engkau berjalan diatas muka bumi ini dengan sombong, karna
sesungguhnya Allah SWT tidak suka kepada setiap orang yang sombong lagi angkuh.
Disebutkan di dalam
kitab Ṡaḥīḥ al-Bukhārī, karya Imam Bukhārī,
مَنْ
جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ
أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ[6]
Artinya
: Barang siapa yang menurunkan pakaiannya
karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat. Lalu berkata
Abu Bakar : “Wahai Rasulullah, sarungku sering melorot (lepas ke bawah) kecuali
aku benar-benar menjaganya. Maka beliau bersabda :"Engkau tidak melakukannya
karena sombong.(H.R. bukhari)
Sementara
Imam Muslim menyebutkan di dalam kitab Ṡaḥīḥnya,
ثلاث
لايكلمهم الله يوم القيامة المنان الذي لا يعطى شيأ إلا منه والمنفق سلعته بالحلف
الفاجر والمسبل إزاره[7]
Artinya
: Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah SWT di hari
kiamat, yaitu: pengungkit pemberian yang tidak memberi sesuatu kecuali
mengungkit-ungkitnya, orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu
dan seseorang yang melakukan isbal (menurunkan) kain sarungnya. (H.R. Muslim)
Imam Nawawi dalam
mensyarah hadis di atas, mengatakan
bahwa sabda Nabi Saw. “almusbil izārahu”, maknanya adalah yang
menurun ujung sarungnya karena sombong sebagaimana penjelasannya pada hadis
yang lain, yaitu :
لا ينظر الله إلى من يجر ثوبه خيلاء
Artinya : Allah tidak akan melihat kepada orang yang
menurunkan kainnya karena sombong
Khuyala’ adalah sombong. Menurunkan kain yang dihubungkan
dengan sikap sombong ini mengkhususkan keumuman perkataan musbil izārahu dan menunjukkan bahwa orang yang dimaksudkan dengan ancaman itu adalah
orang-orang yang menurunkan ujung kain sarungnya dengan sikap sombong.[8]
Menurut
analisa kami terhadap uraian di atas bahwa kemakruhan isbal dengan sikap
tidak sombong adalah karena dengan isbal dikuatirkan sulit terpelihara
dari bersentuhan dengan najis atau adanya isbal dikuatirkan terjadi
sikap sombong.
Ø Apakah memakai kain di bawah mata kaki (isbal) membatalkan shalat?
Untuk menetapkan bahwa sesuatu itu membatalkan shalat, tentu diperlukan
dalil-dalil agama yang menerangkannya. Sejauh ini kita belum menemukan dalil,
baik al-Qur’an maupun hadis, ataupun keterangan ulama yang menjelaskan bahwa
memakai kain di bawah mata kaki dapat membatalkan shalat. Sedangkan hukum
menggunakan kain di bawah mata kaki adalah makruh dan keharamannya hanya
apabila dengan sikap sombong, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Kalaupun
kita berpendapat bahwa isbal tersebut adalah haram, ini juga belum tentu
menunjukkan bahwa isbal tersebut dapat membatalkan shalat. Banyak sekali kasus
dalam fiqh Islam dimana perbuatan haram tidak membatalkan shalat seperti haram
berwudhu’ dengan air rampasan, namun wudhu’nya sah,[9]
dan shalat pada tempat yang dirampas.[10]
Hal ini karena haram tidak identik dengan tidak sah. Bisa saja sesuatu
perbuatan haram, tetapi ia sah. Karena itu, dalam ilmu ushul fiqh ada
pembahasan khusus tentang apakah larangan (haram atau makruh) dapat menjadikan
sesuatu fasid (tidak sah)?
Zakariya al-Anṡari mengatakan dalam kitab ushul fiqh karya beliau, Gayah
al Wuṡûl, sebuah kitab yang menjadi rujukan dalam bidang ilmu ushul fiqh
bagi kalangan Mazhab Syafi’i di Indonesia dan dunia Islam umumnya, sebagai
berikut :
والأصح ان مطلق النهى ولو تنزيها للفساد شرعا فى المنهى عنه ان
رجع النهى فيما ذكر اليه أو الى جزئه أو الى لازمه أوجهل مرجعه
Menurut pendapat yang
lebih shahih mutlak nahi (larangan) meskipun larangan tersebut makruh
tanzih merupakan petunjuk kepada fasid (tidak sah) yang dilarang itu pada
syara’, jika larangan itu kembali kepada dirinya (’ainnya), kembali kepada
juzu’nya, atau kembali kepada lazimnya ataupun tidak diketahui tempat
kembalinya.[11]
Maksudnya,
larangan dapat menjadi petunjuk kepada tidak sah yang dilarang itu apabila
memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut :
a. Larangan itu kembali kepada diri (’ain) yang dilarang, seperti larangan
shalat dan puasa atas orang yang berhaid. Alasan pelarangannya ini adalah
karena shalat dan puasa disyaratkan suci dari haid. Dengan demikian, alasan
pelarangannya kembali kepada diri shalat dan puasa itu sendiri.
b. Larangan itu kembali kepada juzu’ yang dilarang, seperti seperti larangan
menjual buah-buahan yang belum jadi buah, masih dalam bentuk bunga melekat di
batangnya. Alasan larangan ini karena belum ada benda yang dijual (salah satu
rukun jual beli, yakni juzu’ akad jual beli)
c. Larangan itu kembali kepada lazim dari yang dilarang (sesuatu dimana yang
dilarang itu tidak dapat lepas darinya), seperti larangan menjual satu dirham
dengan harga dua dirham. Alasan pelarangannya karena tambahan yang lazim dengan
sebab disyaratkan pada akad. Dan seperti shalat pada waktu makruh, dimana
larangannya adalah karena waktu fasid yang lazim bagi shalat dengan
mengerjakannya dalam waktu tersebut. Ini berbeda dengan mengerjakan shalat pada
tempat makruh seperti kamar mandi, maka tidak menjadikan shalatnya tidak sah,
karena tempat makruh tidak lazim bagi shalat dengan sebab mengerjakannya pada
tempat itu. Hal ini dikarenakan dimungkinkan kamar mandi itu dirobah menjadi
bentuk lain seperti mesjid.
d. Apabila tidak diketahui tempat kembalinya, maka larangan ini juga dapat
menyebabkan tidak sah yang dilarang itu.
Adapun larangan yang tidak termasuk dalam kriteria tersebut di atas, maka
tidak dapat mengakibatkan batal yang dilarang itu, contohnya antara lain :
a. Wudhu’ dengan air rampasan, dimana larangannya karena menghilangkan harta
orang lain dengan sengaja. Wudhu’nya tetap sah, karena larangannya dilihat dari
hal diluar wudhu’ dan tidak lazim baginya.
b.
Jual beli pada waktu azan
Jum’at, jual beli tersebut haram, namun akadnya tetap sah. Hal ini karena
alasan larangan jual beli tersebut adalah menghilangkan kesempatan shalat
Jum’at. Sedangkan menghilangkan kesempatan shalat Jum’at dapat juga terjadi
bukan karena jual beli sebagaimana jual beli dapat terjadi tanpa ada
menghilangkan kesempatan shalat Jum’at.[12]
C. Penutup
Berdasarkan
pendapat para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa larangan shalat dengan isbal
tidak mengakibatkan tidak sah shalat, sebagaimana tidak mengakibatkan tidak sah
wudhu’ dengan air rampasan dengan sebab dilarangnya dan tidak mengakibatkan
tidak sah jual beli pada waktu azan Jum’at dengan sebab dilarangnya.
Wallāhu A’lam
[1] Qalyubi, Ḥasyiah
Qalyubi, Juz. I, h. 303.
[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath, Juz. X, h. 259
[3] an-Nawawi, Rauḍah al-Ṭāalibīn, Juz. I, h. 170.
[4] Q.S, al-A’rāf/ 7: 26.
[5] Q.S, Luqman/ 31: 18.
[6] Imam al-Bukhārī, Ṡaḥīḥ, Juz. V, h. 6.
[7] Imam Muslim, Ṡaḥīḥ, Juz. I, h. 102.
[8] an-Nawawi, Syarh an-Nawawi
‘alā Ṡaḥīḥ Muslim,
Juz. II (Beirut:
Dār al-Fikr, 1981), h.
116.
[9] al-Bakri al-Damyathi, I’ānah, Juz. I, h.. 43.
[10] Zakariya al-Anshari, Gayatul , h. 30.
[11] Ibid, h. 68.
[12] Ibid.Llihat al-Subki,
Jam’ul Jawāmi’, Juz. I, dalam Jalaluddin al-Mahalli, Ḥasyiah al-Banani
‘ala Syarḥ Jam’ul Jawāmi’ (Indonesia: Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah,
t.t.), h. 393-395. Lihat juga Jalaluddin al-Mahalli, Syarḥ al-Warqāt (Pekalongan: Raja Murah,
t.t.), h. 10-11.
0 comments:
Post a Comment