Home » » Mengenal Niat Shalat

Mengenal Niat Shalat


A.  Pendahuluan
Niat merupakan ruh setiap amal ibadah, tanpa niat ibadah yang dilakukan tidak sah, baik ibadah wajib maupun ibadah sunat. Para ulama telah sepakat bahwa niat merupakan syarat sahnya shalat. Sebab, niat merupakan asal semua ibadah yang disebutkan di dalam syara’. Niat bukan merupakan suatu maslahat yang bisa dirasionalisasikan, yaitu maslahat yang bisa ditangkap alat indera.

Deskripsi. Tulisan ini merupakan perkenalan awal setiap muslim dengan niat shalat. Dalam perkenalan ini, setiap muslim akan mempelajari tentang pengetian niat, rukun niat, dan hukumnya. Disadari bahwa untuk memahami dan menjelaskan tentang niat shalat tidak memadai hanya memberikan pemahaman tentang ruang lingkup niat, melainkan juga mengusahakan agar mereka menginternalisasikan rukun-rukun niat dalam aktivitas ibadah yang dilakukannya.
Relevansi. Materi yang dibahas dalam tulisan ini diharapkan dapat membekali setiap muslim tentang niat, yang merupakan syarat awal sah atau tidak sahnya shalat seseorang.
Tujuan. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan setiap muslim pemahaman tentang niat.
    
B.  Pengertian dan Tujuan Niat
Niat adalah kasad dengan hati untuk mengerjakan shalat. Kewajiban niat dalam shalat berdasarkan hadis Rasulullah Saw:
انما الاعمال بالنيات
al-Bakri al-Dimyaṭi mengatakan:
أَحَدُهَا ( نِيَّةٌ ) وَهِي الْقَصْدُ بِالْقَلْبِ لِخَبرٍَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ( فَيَجِبُ فِيهَا ) أَيْ النِّيَّةُ ( قُصِدَ فِعْلُهَا ) أَيْ الصَّلاَةُ لِتَتَمَيَّزُ عَنْ بَقِيَّةِ الْأَفْعَالِ ( وَتُعْيِينَهَا ) مِنْ ظُهْرٍ أَوْ غَيْرِهَا لِتَتَمَيَّزُ عَنْ غَيْرِهَا فَلَا يَكْفِيَ نِيَّةُ فَرْضِ الْوَقْتِ
Niat yaitu memiliki kesengajaan didalam hati berdasarkan hadis “sesungguhnya sahnya suatu amal perbuatan tergantung niatnya”. Maka diwajibkan dalam niat memiliki kesengajaan mengerjakan shalat agar membedakan shalat dengan perbuatan-perbuatan lainnya serta menta’yinnya seperti dengan ditentukan shalat ‘zuhur’ atau lainnya agar membedakan dengan shalat lainnya, maka tidaklah cukup sekedar niat mengerjakan shalat wajib waktu (sekarang) misalnya.1
Tujuan dari niat adalah untuk membedakan shalat dengan perbuatan lain yang bukan ibadah.

C.  Rukun-Rukun Niat
Dalam niat, ada tiga hal yang wajib dihadirkan :
1. Qaṡad, yaitu kesengajaan dalam hati akan melakukan shalat. Supaya berbeda dari perbuatan yang selain shalat. seperti (أصلي / aku menyengaja)
 Ta’ra, yaitu menyatakan dengan hati tentang fardhu atau sunatnya shalat, supaya berbeda tiap-tiap (fardhu/ sunat) dari yang lain. 
v Ta’yīn, artinya menentukan shalat yang akan di kerjakan, misalnya shalat zuhur, ‘ashar.
Misalnya: اُصَلِّى فَرْضَ الظُّهْرِ
Niat adalah amalan hati, harus beriringan dengan takbiratul ihram. Yakni ketika mengucapkan takbir hendaklah hati sadar betul bermaksud melakukan shalat, dengan mengingat shalat apa yang dilakukan, dan juga tentang kefardhuannya. Dan tidak dipersyaratkan menggerakkan lidah dalam berniat. .
(مَقْرُونًا بِهِ ) أَيٌّ بِالتَّكْبيرِ ،( النِّيَّةُ ) لِاَنَّ التَّكْبيرُ أَوَّلَ أَرْكَانُ الصَّلاَةِ فَتَجِبُ مُقَارَنَتُهَا بِهِ
Takbiratul ihram harus dilakukan bersamaan (muqaranah) dengan niat (shalat), karena takbir adalah rukun shalat yang awal, maka wajib bersamaan dengan niat.2

D.  Hukum Niat
Imam Abu Yahya Zakaria al-Anṣari dalam kitab beliau, Tuhfah al-Ṭullab bi syarḥ al-Tahrīr menjelaskan bahwa salah satu kewajiban dalam shalat adalah menyertakan (muqāranah) niat shalat ketika membaca takbiratul ihram. Lebih lanjut, beliau menjelaskan dalam Hasyiah al-syarqawi ‘ala al-Tahrīr bahwa terdapat beberapa rincian hukum tentang muqāranah dan istiḍhar, diantaranya:
1.  Istiḍhar hakikī, yaitu menghadirkan keseluruhan shalat dalam jiwa, maksudnya menghadirkan ke-13 rukun-rukun shalat dengan terperinci, yaitu dengan cara menghadirkannya dalam jiwa secara khusus. Seperti membayangkan sepasang pengantin di atas pelaminan (ketika kita membayangkan sepasang pengantin di atas pelaminan, pasti akan terbayang pengantin pria, pengantin wanita, dan pelaminan secara sekaligus. Ketiganya akan hadir di fikiran kita secara sekaligus, begitu pula dalam hal ini) 
2.  Istiḍhar ‘urfī, yaitu menghadirkan bentuk shalat secara keseluruhan, dengan cara berniat mengerjakan shalat, men-ta’yīnkan shalat (misalnya zuhur atau ‘ashar), dan meniatkan fardhu atau sunnatnya shalat (qaṡad, ta’arruḍ dan ta’yīn)
3.  Muqāranah hakikī, yaitu menyertakan niat mulai dari awal bacaan takbiratul ihram sampai penghabisan bacaan takbiratul ihram.
4.  Muqāranah ‘urfī, yaitu menyertakan niat hanya pada satu bahagian dari pada segala bahagian bacaan takbiratul ihram.
Imam an-Nawani (631H-676H) dalam kitab al-Majmu’ Syarḥ al-Muhaẓẓab dan juga imam yang lain berpendapat bahwa bagi masyarakat awam cukuplah Muqāranah ‘urfī saja, tanpa harus adanya Muqāranah hakikī. Pendapat ini berdasarkan pada ikhtar (pendapat yang dipilih) Imam Haramain al-Juwaini (419H-476H) dan Imam al-Gazali (450H-505H). Dan pendapat ini dibenarkan oleh Imam Tajuddin Abdul Wahhab al-Subki (727H-771H).3
Berkata shahibul Mugni : Lafḍun bimā nawāhu kāna ta’kīdan (Lafad dari apa- apa yang diniatkan itu adalah demi penguat niat saja).4 Demikian pula Ibnu Hajar al-Haitami mengungkapkan didalam kitab Tuhfatul Muhtaj:
(وَيُنْدَبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قَبِيلُ التَّكْبيرِ ) لِيُسَاعِدُ اللِّسَانُ الْقلبُ وَخُرُوجَا مِنْ خِلاَفٍ مَنْ أَوْجَبَهُ وَإِنَّ شَذَّ وَقِيَاسًا عَلَى مَا يَأْتِي فِي الْحَجِّ
Dan disunatkan melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syad ( menyimpang), dan Kesunnahan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafadzan dalam niat haji” 5
Sungguh begitu indahnya kata-kata ulama, mereka sebisa mungkin menghindari perselisihan bahkan dalam perkara yang seperti ini, tidak seperti saat ini, sebagian kelompok kecil ada yang beramal ASBED (asal beda), selalu mengangkat perkara khilafiyah dan begitu mudah mulut mereka membuat tuduhan bid’ah terhadap pendapat yang lainnya. Padahal dengan kata lain, tuduhan bid’ah yang mereka lontarkan, hakikatnya telah menghujat ulama dan menuduh ulama-ulama mazhab yang telah mensunnahkannya.
Kesunnahan melafadkan niat dari ulama Syafi’iyah juga dapat dirujuk pada pendapat dalam kitab ulama syafi’iyah lainnya maupun kitab-kitab ulama mazhab yang lainnya. Melafadzkan niat (Talaffuḍ binniyah) juga merupakan ucapan yang baik, bukan ucapan yang buruk, kotor maupun tercela. Sebagai sebuah perkataan yang baik maka tentunya diridhai oleh Allah Swt dan Allah senang dengan perkataan yang baik. Sebagaimana Allah berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Artinya: Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (al-Qāf/ 50: 18)
مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعاً إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُه
Artinya:  Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. (al-Faṭīr/ 35: 10)6
Dengan demikian, melafadzkan niat (Talaffuḍ binniyah) sebagai sebuah ucapan yang baik, juga memiliki nilai pahala tersendiri disisi Allah berdasarkan ayat-ayat diatas. Didalam mazhab lainnya juga mensunnahkan melafadkan niat, misalnya; Mazhab Hanafi.

E.  Kesimpulan
         Nukilan di atas menggambarkan bahwa shalat telah dinyatakan mulai manakala sudah takbiratul Ihram yang sekaligus bersamaan dengan niat (antara niat dan takbir adalah bersamaan). Aktifitas atau ucapan apapun sebelum itu, bukanlah masuk dalam rukun shalat, demikian juga dengan melafadzkan niat, bukan masuk dalam bagian dari (rukun) shalat.
Wajib berniat melaksanakan shalat fardhu (termasuk fardhu kifayah, atau fardhu karena nazar) walaupun yang mengerjakannya adalah anak kecil. Contohnya seperti "sahaja aku shalat fardhu zuhur / fardhu jum’at (sekalipun imam sudah berada pada posisi tasyahud)". Dan pada niat, disunnahkan menisbahkan shalat kepada Allah (seperti mengucapkan lillāhi ta’āla). Tujuannya adalah untuk menampakkan keikhlasan hanya kepada Allah. Disunnahkan pula meniatkan shalat tunai/ qadha. Dan berdasarkan pendapat yang kuat, sah melakukan shalat tunai dengan niat qadha, begitu pula sebaliknya. Namun hal ini hanya berlaku bila dalam keadaan uzur, misalnya mendung, dan sebagainya. Jika tidak, maka shalatnya batal, karena dianggap talā’ub (bermain-main) dalam ibadah. Dan disunnahkan pula berniat menghadap kiblat dan meniatkan jumlah raka’at. Disunnahkan melafadzkan niat sebelum takbiratul ihram, tujuannya adalah agar hatinya lebih fokus.
Kiranya dengan membaca tulisan ini secara cermat dan penuh penghayatan, insya Allah sudah memada untuk diri sendiri. Wallahua’lam

____________________________
Referensi:
1.        al-Bakri Muhammad Syaṭa ad-Dimyaṭi, I’ānah al-Ṭālibīn, Juz. I (Semarang: Toha Putra, t.t..), h. 126-127.
2.        al-Bakri Muhammad, I’ānah. Juz. I, h. 130-131.
3.        Zakaria al-Anṣari, Tuhfah al-Ṭullab bi syarh al-Tahrīr, Juz. I (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), h. 177-178. Lihat juga, Zakaria al-Anṣari, Ḥasyiah Syarqawi ‘ala al-Tahrīr, Juz. I (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), h. 178.
4.        Khatib Syarbaini, al-Mugni al-Muḥtāj Ila Ma’rifati al-fāḍ al-Minḥāj, Juz. I (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), h. 278.
5.        Ibnu Hajar al-Haitami, Tuḥfah al-Muḥtāj bi Syarh al-Minḥāj, Juz. II (Mesir: Mathba’ah Mustafa Muhammad, t.t. ), h. 12. Lihat juga, Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Juz. I (Damaskus: Dār al-Fikr, 2004), h. 767.
6.        RI, Agama ,Departemen. al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Departemen Agama RI, 1990).  


0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.