Pembacaan lafadz
takbiratul ihram, disertai dengan niat dan juga disertai dengan apa saja yang
di i’tibarkan dalam niat itu sendiri, seperti qaṡad, ta’arruḍ dan
ta’yīn, niat fardhiah, niat qashar bagi musafir, niat imaman dan ma’mumah
secara keseluruhan, dengan cara menghadirkan kesemuanya mulai dari permulaan
takbir sampai ke bacaan huruf “ra” pada kalimat “اكبر”.
Deskripsi. Dalam tulisan ini akan
dibahas tentang pilar shalat khususnya takbiratul ihram yang pokok bahasannya
meliputi dalil wajib takbiratul ihram, posisi tangan ketika takbiratul ihram,
dan kesimpulan. Bahasan ini sangat penting bagi orang yang shalat untuk memudahkannya
memahami hal-hal penting dan mendasar yang berkaitan dengan takbiratul ihram.
Relevansi. Kedalaman pemahaman terhadap takbiratul
ihram merupakan pondasi utama yang baik untuk melaksanakan shalat.
Tujuan. Materi ini merupakan substansi dari
pilar shalat yang memberikan kemampuan kepada mushalli untuk memahami,
menjelaskan, dan mempraktekkan dalam pelaksanaan shalat.
B. Dalil Wajib
Takbiratul Iḥram
Dalam hadis, Nabi bersabda :
عَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رض
قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ ص اِفْتَتَحَ التَّكْبِيْرَ فِى الصَّلاَةِ فَرَفَعَ
يَدَيْهِ حِيْنَ يُكَبّرُ حَتَّى يَجْعَلَهُمَا حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ وَ اِذَا
كَبّر لِلرُّكُوْعِ فَعَلَ مِثْلَهُ و َاِذَا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
فَعَلَ مِثْلَهُ وَ قَالَ: رَبَّنَا وَ لَكَ اْلحَمْدُ. وَ لاَ يَفْعَلْ ذ?لِكَ
حِيْنَ يَسْجُدُ. وَ لاَ حِيْنَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنَ السُّجُوْدِ. (رواه البخارى)
Artinya: Dari 'Abdullah bin 'Umar ra,
ia berkata, "Aku melihat Nabi Saw. memulai dengan takbir ketika shalat,
beliau mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir sehingga sejajar dengan
kedua bahunya, dan apabila takbir untuk ruku' beliau melakukan seperti itu. Dan
apabila mengucap “Sami'allāhu liman ḥamidah”, beliau melakukan
seperti itu juga, dan beliau mengucapkan “Rabbanā wa lakal ḥamdu”.
Dan beliau tidak mengerjakan yang demikian itu ketika akan sujud dan tidak pula
ketika mengangkat kepalanya dari sujud". 1
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ ص اِذَا قَامَ لِلصَّلاَةِ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى تَكُوْنَا
حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ كَبَّرَ، فَاِذَا اَرَادَ اَنْ يَرْكَعَ فَعَلَ مِثْلَ
ذ?لِكَ، وَ اِذَا رَفَعَ مِنَ الرُّكُوْعِ فَعَلَ مِثْلَ ذ?لِكَ،
وَ لاَ يَفْعَلُهُ حِيْنَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنَ السُّجُوْدِ.(رواه مسلم)
Artinya: Dari Ibnu 'Umar, ia
berkata, "Adalah Rasulullah Saw. apabila berdiri untuk shalat, beliau
mengangkat kedua tangannya sehingga sejajar dengan kedua bahunya kemudian
bertakbir. Maka apabila akan ruku' beliau melakukan seperti itu, apabila bangun
dari ruku' beliau melakukan seperti itu, dan beliau tidak melakukan yang
demikian (mengangkat tangan) ketika mengangkat kepalanya dari sujud".2
ad-Dimyaṭi dan ar-Ramli mengungkapkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda dalam sebuah
hadis :
إذا قمت إلى الصلاة فكبر
Artinya: Apabila engkau
melaksanakan shalat, maka bertakbirlah (Muttafaq ‘alaihi)”
v Mengapa
dinamakan takbiratul ihram?
Dinamakan
dengan takbiratul ihram sebagaimana makna lafadz “ihram” adalah
pengharaman ,karena takbir tersebut mengharamkan apa saja
yang halal dilakukan oleh orang yang melaksanakan shalat sebelum ia melakukan
shalat. Dalam takbiratul ihram, terdapat makna implisit yang mengisyaratkan
betapa Agungnya Zat yang kita sembah, yaitu Allah Swt, oleh karena itu, maka
takbiratul ihram ditempatkan mengucapkannya di awal pelaksanaan shalat. Sehingga
sempurnalah kekhusyu’annya.
Bagi
orang yang kuasa mengucapkan lafadz takbir wajib mengucapkan “اللَّهُ أَكْبَرُ”, karena yang demikian merupakan perbuatan nabi. Nabi bersabda:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Artinya: Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku shalat. (H.R. Bukhari)
Tidak dibenarkan mengucapkan “اللَّهُ
كَبِيرٌ”, karena tidak terkandug makna “أَفْعَلَ”. Begitu pula tidak boleh mengucapkan “الرَّحْمَنُ أَكْبَرُ” ,
“الرَّحِيمُ أَكْبَرُ” , “اللَّهُ أَعْظَمُ”
dan “اللَّهُ أَجَلُّ”, karena tidak dinamakan sebagai lafadz takbir. Tidak
boleh mengurangi satu huruf pun pada lafad takbiratul ihram. Begitu pula
pada takbir-takbir intiqalat. Dan juga tidak boleh menambah satu huruf pun yang
menyebabkan berubahnya makna takbiratul ihram, seperti memanjangkan bacaan
hamzah pada kalimat “اللَّهِ” dan menambahkan “alif” sesudah “ba” pada kalimat “أَكْبَر”,
karena“أَكْبَر” (dengan menambahkan alif) merupakan bentuk jamak
dari mufradnya “كَبَر” dibaca
dengan faḥaḥ “ba”- yang artinya gendang atau bedug bermuka satu. Dan
tidak boleh menambahkan “waw” sebelum lafadz “jalalah” sebagaimana tersebut
dalam kitab “fatawa al-qaffal”, begitupula tidak boleh menambahkan
tasydid pada “ba” atau “ra” pada kalimat “أَكْبَر”.3
C. Posisi
Tangan Ketika Takbiratul Ihram
Dalam
hal posisi tangan tatkala mengucapkan takbiratul ihram Imam al-Gazali
mengungkapkan sebagai berikut:
... وَأَرْفَعُ
يَدِيَكَ عِنْدَ التَّكْبيرِ بَعْدَ ارسالهما أَوَّلًا إِلَى مَنْكِبِيِكَ وَهُمَا
مَبْسُوطَتَانٍِ وَأَصابِعُهُمَا مَنْشُورَةٌ وَلَا تَتَكَلَّفْ ضَمَّهُمَا وَلَا
تَفْرِيقُهُمَا وَأَرْفَعُ يَدِيكَ بِحَيْثٌ تُحَاذَى بَابَهَا مِيِكَ شحمتى
أَذِّنِيكَ وَرُموسُ أَصابِعِكَ أُعَالَى أُذْنِيِكَ وَتُحَاذَى بِكَفِّيِكَ
مَنْكِبِيِكَ
Ketika melaksanakan
takbiratul ihram, disunnahkan mengangkat tangan hingga lurus dengan pundak.
Sementara jari-jari tangan diluruskan dan tanpa menggenggam telapak tangan. Imam al-Gazali menjelaskan: “Angkatlah kedua tanganmu
ketika takbiratul ihram sampai lurus pada kedua pundakmu setelah sebelumnya tegak lurus
ke bawah. Kedua tangan dibentangkan dan jari-jarinya diluruskan, tidak terlalu
dirapatkan atau direnggangkan. Caranya adalah tangan diangkat hingga dua jempol
bertemu dengan dua daun telinga, dan jari telunjuk berada di atas dua telinga
dan telapak tangan berada di atas kedua pundak.”4
D. Kesimpulan
Shalat
merupakan satu ibadah sebagai wadah bagi hamba untuk bermunajat kepada Sang Pencipta,
Allah. Karena itulah dalam shalat segala hubungan dengan selainNya harus terputus.
Semua kata-kata dan bacaan/ kalam dalam shalat haruslah bacaan yang bermaksud
munajah dengan Allah baik itu berupa do’a atau zikir seperti takbiratul ihram. Karena itu semua kalam manusia
yang ajnabi dalam shalat dapat membatalkan shalat.
_________________________________
Referensi:
1.
Imam Bukhāri, Ṣaḥīḥ Al-Bukhāri, Juz I (Mesir:
Dār wa Maṭba’ī al-Syābi, t.t.), h.
180.
2. Imam Muslim, Shahih
Muslim,
Juz. I (Indonesia:
Maktabah Dahlan, t.t.), h. 292.
3. al-Bakri Muhammad Syaṭa
ad-Dimyaṭi, I’ānah al-Ṭālibīn, Juz. I (Semarang: Toha Putra, t.t..), h. 130-131. Lihat juga, Syihabuddin ar-Ramli, Nihayah al-Maṭlab, Juz. I (Beirut: Dār
al-Fikr, t.t.), h. 459.
4.
Imam
al-Gazali, Bidayah al-Hidayah (Surabaya: al-Hidayah, 1418 H), h. 45.
Mengapa ketika mengangkat tangan saat takbir, yang dijelaskan oleh Hadits bahwa tangan sejajar dengan pundak...tapi yang ditekankan malah apa yang dikatakan oleh Imam Al-Ghazali..??????? bukan mengikuti apa yang dijelaskan oleh sahabat ketika melihat Nabinya bertakbir..?
ReplyDelete