Home » » Pilar Shalat Yang Ke Empat “Membaca al-Fatihah ”

Pilar Shalat Yang Ke Empat “Membaca al-Fatihah ”


A.  Pendahuluan
Membaca al-Fatihah adalah keharusan dalam setiap shalat. Jika tidak maka Allah Swt tidak akan menerima shalat itu. Dengan kata lain, kita harus membaca al-Fatihah pada setiap permulaan shalat dan pada setiap raka’at. Oleh karena demikian penulis mencoba untuk membahas masalah ini.

Deskripsi. Dalam tulisan ini akan memfokuskan pembicaraan tentang al-Fatihah dalam shalat, syarat sah membacanya, dan diakhiri dengan kesimpulan. 
Relevansi. Dalam pelaksanaan rukun shalat yang keempat ini mushalli harus benar-benar konsen. Karena Kekeliruan dalam membaca al-Fatihah baik huruf, tasydid, baris, dan tajwidnya berakibat pada tidak sahnya shalat.
Tujuan. Agar mushalli memiliki pemahaman dan bacaan yang baik tentang pilar shalat tersebut dan dapat mengaplikasikannya dengan benar sebagaimana tuntunan Allah dan Rasulullah Saw.

B.  Hukum Membaca  al-Fatihah
Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَالَ: لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ اْلكِتَابِ. (رواه البخارى)[1]
Artinya:  Dari ‘Ubadah bin Shaamit bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak (sah) shalat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah”.
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص.م قَالَ: اِذَا أَمَّنَ اْلاِمَامُ فَأَمّنُوْا، فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِيْنُهُ تَأْمِيْنَ اْلمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَقُوْلُ آمِيْنَ. (رواه البخارى)[2]
Artinya: Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah bersabda “Apabila Imam membaca “āmīn”, maka bacalah “āmīn”. Karena barangsiapa yang bacaan“āmīn”nya itu bertepatan dengan bacaan “āmīn”nya para malaikat, niscaya diampuni baginya dari dosa-dosanya yang telah lalu”. Ibnu Syihab (perawi hadis tersebut) berkata, “Dan Rasulullah Saw. membaca“āmīn”.
Imam asy-Syafi’i Rahimahullāhu Ta’āla di dalam kitabnya al-Umm menjelaskan tentang bacaan basmalah sebagai bagian dari tujuh ayat yang berulang-ulang dalam surat al-Fatihah. Jika ditinggalkan, baik seluruhnya maupun sebagiannya, maka raka’at shalatnya dihukumi tidak sah.
... أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ قَالٌ : أَخْبَرَنَا الشَّافِعِىُّ قَالٌ : أَخَبَرُنَا عَبْدِ الْمَجِيدِ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ ، عَنِ اِبْنِ جرِيجِ قَالٍ : أخبرنى أَبِي ، عَنْ سَعِيدٌ بْنِ جُبَيْرِ: (ولقد آتيناك سبعا من المثاني) (الحجر: ۸۷) قَالَ : هى أُمُّ الْقُرْآنِ . قَالَ أَبَى : وَقَرَأَهَا علىَّ سَعِيدً بْنِ جُبَيْرٍ حَتَّى خَتْمِهَا ، ثَمَّ قَالٍ :( بسم الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ) الْآيَةُ السّابعَةُ . قَالَ سَعِيدٌ فَقَرَأَهَا علىَّ اِبْنُ عَبَّاسٍ ، كماقرأتها عَلَيكَ . ثَمَّ قَالٍ :( بسم الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ) الْآيَةُ السّابعَةُ . قَالَ اِبْنُ عَبَّاسٍ : فَذُخْرُهَا لَكُمْ ، فَمَا أُخْرِجُهَا لِأَحُدَّ قِبَلَكُمْ[3]   
“…Telah mengkhabarkan kepada kami ar-Rabi’, ia berkata: telah berkata asy-Syafi’i: Meriwayatkan kepada kami Abdul Majid ibn Abdul Aziz dari ibn Juraij, ia berkata: mengkhabarkan kepadaku ayahku, dari Sa’id bin Jubair:{ ولقد أتيناك سبعا من المثاني } ia adalah ummu al-Quran. Berkata ayahku:  Sa’id bin Jubair membacakannya kepadaku hingga selesai kemudian ia berkata { بسم الله الرحمن الرحيم  } adalah termasuk ayat yang tujuh. Berkata Sa’id: telah membaca pula yang demikian ini ibnu ‘Abbas sebagaimana aku membacanya kepada engkau, kemudian ia berkata: { بسم الله الرحمن الرحيم  }  adalah termasuk ayat yang tujuh.”
Yang dimaksud dengan tujuh ayat yang berulang-ulang adalah surat al-Fatihah, sebab al-Fatihah itu sendiri terdiri dari tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang pada tiap-tiap raka’at shalat. Dalam sebuah hadis disebutkan:
عن ابي هريرة قال: قال رسول الله ص.م. إذ قرأتم الحمد لله فاقرءوا بسم الله الرحمن الرحيم. انها أمُّ القرأن و أمُّ الكتاب والسبع المثاني و بسم الله الرحمن الرحيم إحداها.(زواه الدار قطني والبيهقي بسند صحيح)[4] 
Artinya:  Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Jika kalian membaca al-Ḥamdulillāh (surat al-Fatihah) maka bacalah basmalah. Sesungguhnya al-Fatihah itu induk dari al-Quran dan induk al-Kitab serta tujuh ayat yang diulang-ulang. Dan basmalah adalah salah satu ayatnya.
Dari hadis tersebut diatas sangat jelas bahwa bacaan basmalah adalah ayat yang pertama dari surat al-Fatihah. Sebab jika tanpa basmalah, maka surat al-Fatihah itu hanya terdiri dari enam ayat, dan tentunya hal ini tidak sesuai dengan penyebutan tujuh ayat yang berulang-ulang tersebut. Karena merupakan bagian dari surat al-Fatihah, maka bacaan basmalah ini dianjurkan untuk dikeraskan bacaannya ketika seseorang membaca surat al-Fatihah dalam shalat jahr (magrib, isya dan shubuh). Kesunnahan mengeraskan bacaan basmalah ini banyak tercantum di dalam kitab-kitab hadis. Dan amaliah ini selalu diamalkan dari generasi ke generasi sebagaimana dicontohkan oleh para shahabat Nabi dan pengikutnya.
عَنْ مُحَمَّدِ اِبْنٍ أَبِي السُّرَى الْعَسْقَلانِيِ قَالٌ : صُلِّيَتْ خَلْفٌ المعتمير بْنٍ سَلِيمَانٍ مَالَا أَخَصِّي صَلاَةِ الصُّبْحِ وَالْمَغْرِبَ فَكَانَ يَجْهَرُ بِسم اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ قَبْلَ فَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَبَعْدَهَا . وَسَمِعْتِ المعتمير يَقُولُ : ماالوا أَنَّ اُقْتُدِيَ بِصَلاَةٍ أَبِي وَقَالَ أَبِيٌّ : ماالوا أَنَّ اُقْتُدِيَ بِصَلاَةِ أُنْسٍ بْنُ مَالِكَ وَقَالً أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ : ماالوا أَنَّ اُقْتُدِيَ بِصَلاَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيه وَسَلَّمُ. (رواه الحاكم في المستدرك)[5]
Artinya:  Dari Muhammad bin Abi as-Sirri al-Asqallaani ia berkata: Aku sering shalat shubuh dan magrib bermakmum kepada Mu’tamar bin Sulaiman. Dan ia mengeraskan bacaan basmalah sebelum al-Fatihah dan setelahnya. Dan aku mendengar Mu’tamar berkata: Cara seperti ini aku lakukan karena aku mengikuti shalat ayahku. Dan ayahku berkata: Aku mengikuti shalat Anas bin Malik. Dan Anas bin Malik berkata: Aku mengikuti cara Shalat Rasulullah Saw.
Salah seorang imam terkemuka dari mazhab Syafi’i, yaitu al-Imam Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi di dalam kitabnya al-Majmu’ Syarh al-Muhaẓẓab menyebutkan: “…Berkata ibn Khuzaimah di dalam karyanya, adapun pendapat yang menyatakan bahwa bacaan basmalah dibaca secara keras, ini adalah pendapat yang benar. Telah ada hadis dari Nabi Saw. dengan sanad yang muttashil (para perawinya tsiqat dan sanadnya benar-benar bersambung sampai kepada Rasulullah Saw), tidak diragukan, serta tidak ada keraguan dari para ahli hadis tentang shahih serta muttashil-nya sanad hadis ini. Selanjutnya ibn Khuzaimah berkata: Telah jelas, dan telah terbukti bahwa Nabi Saw. mengeraskan bacaan basmalah di dalam shalat. Dan mentakhrij pula Abu Hatim ibn Hibban di dalam Shahih-nya dan ad-Daruquthni di dalam Sunan-nya beliau berkata: Hadis ini shahih, seluruh perawinya tsiqat. Dan meriwayatkan pula al-Hakim di dalam Mustadrak, beliau berkata: Hadis ini shahih menurut syarat-syarat al-Bukhari dan Muslim...” [6]

C.  Syarat Sah Membaca al-Fatihah
Imam Nawawi dan Ibnu Hajar menyebutkan : Syarat sah membaca al-Fatihah adalah harus sesuai dengan kaidah Ilmu Tajwid serta seluruh hurufnya (142 huruf) dan tasydidnya (14 tasydid). Apabila terdapat satu saja huruf atau tasydid yang tidak terbaca atau tertukar dengan huruf lain seperti: ذ dibaca ز atau س dibaca ص atau sebaliknya, maka bacaan al-Fatihahnya tidak sah, dan berarti Shalatnya tidak sah juga karena dianggap tidak membaca al-fatihah.[7]

D.  Hukum Orang Yang Tidak Bisa Membaca al-Fatihah
Dalam Hasyiah qalyubi wa ‘umairah dijelaskan bahwa bagi orang yang tidak bisa membaca surah al-Fatihah, misalnya bagi orang yang tidak punya guru atau tidak punya al-qur’an, maka wajib membaca 7 ayat lain dalam satu surat. Jika tidak mampu, maka wajib membaca 7 ayat lain walaupun tidak dalam satu surat. Jika tidak mampu, maka wajib menggantinya dengan 7 zikir. Sebagaimana pendapat kuat yang dinyatakan oleh Imam al-Bagawi. Dan disyaratkan huruf-huruf dari ayat atau zikir pengganti al-Fatihah tidak boleh kurang dari huruf-huruf yang terdapat dalam surah al-Fatihah. Dan jika seseorang tidak mampu membaca ayat atau zikir sebagai pengganti al-Fatihah, maka yang diwajibkan adalah berdiri sekadar lamanya bacaan surah al-Fatihah. [8]
E.  Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa sudah seharusnya bagi mushalli dan para imam belajar al-Quran dari mulai cara membaca, memahami dan sekaligus mengamalkan isi dan kandungannya (al-Qur’an).  Al-Qur’an hendaknya dibaca sesuai dengan tata cara membacanya (jelas atau samar, dengung, qalqalah, panjang pendeknya huruf, kapan waqaf/ berhenti, kapan terus dan sebagainya.





Footnot:
[1] Imam Bukhāri, Ṣaḥīḥ, Juz I, h. 184.
[2] Ibid, h. 190.
[3] Imam Syafi’i, al-Ūmm, Juz. II (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), h. 244-245.
[4]ad-Daruquthni,  Sunan Daruquthni, Juz. I (Beirut-Libanon: Dār al-Fikr, 1994), 312. Lihat, al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, Juz. II (Beirut: Darus Shadir, 1347 H), h. 45.
[5] al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala aṣ-Ṣaḥiḥain, Juz. I (Beirut-Libanon: Maktab al- Mathbu’ah al-Islamiyyah, t.t.), h. 385.
[6] Imam  an-Nawawi, al-Majmu’, Juz. III, h. 302.
[7] Ibid, h. 250-251. Lihat Juga, Ibnu Hajar al-Haitami, Tuḥfah,  Juz. II, h. 37. 
[8] Umaira, Ḥasyiyah Qalyubi wa ‘Umairah, Juz. I (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), h. 171.

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.