A. Pendahuluan
Membaca
al-Fatihah adalah keharusan dalam setiap shalat. Jika tidak maka Allah Swt
tidak akan menerima shalat itu. Dengan kata lain, kita harus membaca al-Fatihah
pada setiap permulaan shalat dan pada setiap raka’at. Oleh karena demikian
penulis mencoba untuk membahas masalah ini.
Deskripsi. Dalam tulisan ini akan memfokuskan
pembicaraan tentang al-Fatihah dalam shalat, syarat sah membacanya, dan
diakhiri dengan kesimpulan.
Relevansi. Dalam pelaksanaan rukun shalat yang
keempat ini mushalli harus benar-benar konsen. Karena Kekeliruan dalam membaca
al-Fatihah baik huruf, tasydid, baris, dan tajwidnya berakibat pada tidak
sahnya shalat.
Tujuan. Agar mushalli memiliki pemahaman dan
bacaan yang baik tentang pilar shalat tersebut dan dapat mengaplikasikannya
dengan benar sebagaimana tuntunan Allah dan Rasulullah Saw.
B. Hukum
Membaca al-Fatihah
Dalam hal ini Rasulullah
Saw bersabda:
عَنْ
عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَالَ: لاَ صَلاَةَ لِمَنْ
لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ اْلكِتَابِ. (رواه البخارى)[1]
Artinya: Dari ‘Ubadah bin Shaamit
bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak (sah) shalat bagi orang yang
tidak membaca al-Fatihah”.
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص.م قَالَ:
اِذَا أَمَّنَ اْلاِمَامُ فَأَمّنُوْا، فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِيْنُهُ
تَأْمِيْنَ اْلمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. قَالَ ابْنُ
شِهَابٍ: وَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَقُوْلُ آمِيْنَ. (رواه البخارى)[2]
Artinya: Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Saw.
pernah bersabda “Apabila Imam membaca “āmīn”, maka bacalah “āmīn”.
Karena barangsiapa yang bacaan“āmīn”nya itu bertepatan dengan bacaan “āmīn”nya
para malaikat, niscaya diampuni baginya dari dosa-dosanya yang telah lalu”.
Ibnu Syihab (perawi hadis tersebut) berkata, “Dan Rasulullah Saw. membaca“āmīn”.
Imam asy-Syafi’i Rahimahullāhu Ta’āla di dalam kitabnya al-Umm
menjelaskan tentang bacaan basmalah sebagai bagian dari tujuh ayat yang
berulang-ulang dalam surat al-Fatihah. Jika ditinggalkan, baik seluruhnya
maupun sebagiannya, maka raka’at shalatnya dihukumi tidak sah.
... أَخْبَرَنَا
الرَّبِيعُ قَالٌ : أَخْبَرَنَا الشَّافِعِىُّ قَالٌ : أَخَبَرُنَا عَبْدِ
الْمَجِيدِ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ ، عَنِ اِبْنِ جرِيجِ قَالٍ : أخبرنى أَبِي ،
عَنْ سَعِيدٌ بْنِ جُبَيْرِ: (ولقد آتيناك سبعا
من المثاني) (الحجر: ۸۷) قَالَ
: هى أُمُّ الْقُرْآنِ . قَالَ أَبَى : وَقَرَأَهَا علىَّ سَعِيدً بْنِ جُبَيْرٍ حَتَّى
خَتْمِهَا ، ثَمَّ قَالٍ :( بسم الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ) الْآيَةُ
السّابعَةُ . قَالَ سَعِيدٌ فَقَرَأَهَا علىَّ اِبْنُ عَبَّاسٍ ، كماقرأتها
عَلَيكَ . ثَمَّ قَالٍ :( بسم الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ) الْآيَةُ السّابعَةُ
. قَالَ اِبْنُ عَبَّاسٍ : فَذُخْرُهَا لَكُمْ ، فَمَا أُخْرِجُهَا لِأَحُدَّ
قِبَلَكُمْ[3]
“…Telah
mengkhabarkan kepada kami ar-Rabi’, ia berkata: telah berkata asy-Syafi’i:
Meriwayatkan kepada kami Abdul Majid ibn Abdul Aziz dari ibn Juraij, ia
berkata: mengkhabarkan kepadaku ayahku, dari Sa’id bin Jubair:{ ولقد أتيناك سبعا من المثاني } ia adalah ummu al-Quran.
Berkata ayahku: Sa’id bin Jubair membacakannya kepadaku hingga selesai
kemudian ia berkata { بسم الله الرحمن الرحيم } adalah termasuk ayat yang tujuh. Berkata Sa’id: telah membaca pula yang
demikian ini ibnu ‘Abbas sebagaimana aku membacanya kepada engkau, kemudian ia
berkata: { بسم الله الرحمن الرحيم } adalah termasuk ayat yang tujuh.”
Yang dimaksud dengan tujuh ayat yang berulang-ulang adalah surat
al-Fatihah, sebab al-Fatihah itu sendiri terdiri dari tujuh ayat yang dibaca
berulang-ulang pada tiap-tiap raka’at shalat. Dalam sebuah hadis disebutkan:
عن ابي هريرة قال: قال رسول الله ص.م. إذ قرأتم الحمد
لله فاقرءوا بسم الله الرحمن الرحيم. انها أمُّ القرأن و أمُّ الكتاب والسبع
المثاني و بسم الله الرحمن الرحيم إحداها.(زواه الدار قطني والبيهقي بسند صحيح)[4]
Artinya:
Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Jika kalian
membaca al-Ḥamdulillāh (surat al-Fatihah) maka bacalah basmalah.
Sesungguhnya al-Fatihah itu induk dari al-Quran dan induk al-Kitab serta tujuh
ayat yang diulang-ulang. Dan basmalah adalah salah satu ayatnya.
Dari
hadis tersebut diatas sangat jelas bahwa bacaan basmalah adalah ayat yang
pertama dari surat al-Fatihah. Sebab jika tanpa basmalah, maka surat al-Fatihah
itu hanya terdiri dari enam ayat, dan tentunya hal ini tidak sesuai dengan
penyebutan tujuh ayat yang berulang-ulang tersebut. Karena merupakan bagian
dari surat al-Fatihah, maka bacaan basmalah ini dianjurkan untuk dikeraskan
bacaannya ketika seseorang membaca surat al-Fatihah dalam shalat jahr
(magrib, isya dan shubuh). Kesunnahan mengeraskan bacaan basmalah ini banyak
tercantum di dalam kitab-kitab hadis. Dan amaliah ini selalu diamalkan dari
generasi ke generasi sebagaimana dicontohkan oleh para shahabat Nabi dan
pengikutnya.
عَنْ
مُحَمَّدِ اِبْنٍ أَبِي السُّرَى الْعَسْقَلانِيِ قَالٌ : صُلِّيَتْ خَلْفٌ
المعتمير بْنٍ سَلِيمَانٍ مَالَا أَخَصِّي صَلاَةِ الصُّبْحِ وَالْمَغْرِبَ
فَكَانَ يَجْهَرُ بِسم اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ قَبْلَ فَاتِحَةِ الْكِتَابِ
وَبَعْدَهَا . وَسَمِعْتِ المعتمير يَقُولُ : ماالوا أَنَّ اُقْتُدِيَ بِصَلاَةٍ
أَبِي وَقَالَ أَبِيٌّ : ماالوا أَنَّ اُقْتُدِيَ بِصَلاَةِ أُنْسٍ بْنُ مَالِكَ
وَقَالً أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ : ماالوا أَنَّ اُقْتُدِيَ بِصَلاَةِ رَسُولِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيه وَسَلَّمُ.
(رواه الحاكم في المستدرك)[5]
Artinya: Dari Muhammad bin Abi as-Sirri al-Asqallaani
ia berkata: Aku sering shalat shubuh dan magrib bermakmum kepada Mu’tamar bin
Sulaiman. Dan ia mengeraskan bacaan basmalah sebelum al-Fatihah dan setelahnya.
Dan aku mendengar Mu’tamar berkata: Cara seperti ini aku lakukan karena aku
mengikuti shalat ayahku. Dan ayahku berkata: Aku mengikuti shalat Anas bin
Malik. Dan Anas bin Malik berkata: Aku mengikuti cara Shalat Rasulullah Saw.
Salah seorang imam terkemuka dari mazhab Syafi’i, yaitu al-Imam Zakariya
Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi di dalam kitabnya al-Majmu’ Syarh al-Muhaẓẓab
menyebutkan: “…Berkata ibn Khuzaimah di dalam karyanya, adapun pendapat yang
menyatakan bahwa bacaan basmalah dibaca secara keras, ini adalah pendapat yang
benar. Telah ada hadis
dari Nabi Saw. dengan sanad yang muttashil (para perawinya tsiqat dan sanadnya
benar-benar bersambung sampai kepada Rasulullah Saw), tidak diragukan, serta
tidak ada keraguan dari para ahli hadis tentang shahih serta muttashil-nya
sanad hadis ini. Selanjutnya ibn Khuzaimah berkata: Telah jelas, dan telah
terbukti bahwa Nabi Saw. mengeraskan bacaan basmalah di dalam shalat. Dan
mentakhrij pula Abu Hatim ibn Hibban di dalam Shahih-nya dan ad-Daruquthni di
dalam Sunan-nya beliau berkata: Hadis ini shahih, seluruh perawinya tsiqat. Dan
meriwayatkan pula al-Hakim di dalam Mustadrak, beliau berkata: Hadis ini shahih
menurut syarat-syarat al-Bukhari dan Muslim...” [6]
C. Syarat Sah
Membaca al-Fatihah
Imam
Nawawi dan Ibnu Hajar menyebutkan : Syarat sah
membaca al-Fatihah adalah harus sesuai dengan kaidah Ilmu Tajwid serta seluruh
hurufnya (142 huruf) dan tasydidnya (14 tasydid). Apabila terdapat satu saja
huruf atau tasydid yang tidak terbaca atau tertukar dengan huruf lain seperti: ذ dibaca ز atau س dibaca ص atau
sebaliknya, maka bacaan al-Fatihahnya tidak sah, dan berarti Shalatnya tidak
sah juga karena dianggap tidak membaca al-fatihah.[7]
D.
Hukum
Orang Yang Tidak Bisa Membaca al-Fatihah
Dalam Hasyiah qalyubi wa ‘umairah dijelaskan bahwa bagi orang yang tidak bisa
membaca surah al-Fatihah, misalnya bagi orang yang tidak punya guru atau tidak
punya al-qur’an, maka wajib membaca 7 ayat lain dalam satu surat. Jika tidak
mampu, maka wajib membaca 7 ayat lain walaupun tidak dalam satu surat. Jika
tidak mampu, maka wajib menggantinya dengan 7 zikir. Sebagaimana pendapat kuat
yang dinyatakan oleh Imam al-Bagawi. Dan disyaratkan huruf-huruf dari ayat atau
zikir pengganti al-Fatihah tidak boleh kurang dari huruf-huruf yang terdapat
dalam surah al-Fatihah. Dan jika seseorang tidak mampu membaca ayat atau zikir
sebagai pengganti al-Fatihah, maka yang diwajibkan adalah berdiri sekadar
lamanya bacaan surah al-Fatihah. [8]
E.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian
di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa sudah seharusnya bagi mushalli dan para imam belajar al-Quran dari mulai cara
membaca, memahami dan sekaligus mengamalkan isi dan kandungannya (al-Qur’an). Al-Qur’an
hendaknya dibaca sesuai dengan tata cara membacanya (jelas atau samar, dengung,
qalqalah, panjang pendeknya huruf, kapan waqaf/ berhenti, kapan
terus dan sebagainya.
[2] Ibid, h. 190.
[3] Imam Syafi’i, al-Ūmm,
Juz. II (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), h. 244-245.
[4]ad-Daruquthni, Sunan Daruquthni, Juz. I (Beirut-Libanon: Dār al-Fikr,
1994), 312. Lihat, al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, Juz. II (Beirut: Darus Shadir, 1347 H), h. 45.
[5] al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala aṣ-Ṣaḥiḥain, Juz. I (Beirut-Libanon: Maktab al- Mathbu’ah al-Islamiyyah, t.t.), h. 385.
[6] Imam an-Nawawi, al-Majmu’, Juz. III,
h. 302.
[7] Ibid,
h. 250-251. Lihat Juga, Ibnu Hajar al-Haitami, Tuḥfah, Juz. II, h. 37.
[8] Umaira, Ḥasyiyah Qalyubi wa ‘Umairah, Juz. I (Beirut: Dār al-Fikr,
t.t.), h. 171.
0 comments:
Post a Comment