Berdiri dalam shalat
tidaklah sama dengan berdiri di luar shalat. Berapa banyak orang yang shalat,
tatkala berdiri selalu menyimpang dari yang diperintahkan oleh. Ada yang berdiri
seperti penyanyi miring kanan miring kiri, mereka menganggap biasa hal ini. Tetapi
ketika mereka berdiri di depan pembesar penuh dengan rasa hormat dan tegap. Oleh
karena itu penulis mencoba untuk membahas masalah ini pada penulisan ini.
Deskripsi. Dalam tulisan ini akan memfokuskan
pembicaraan tentang berdiri betul dalam shalat, hukum dan sunat-sunatnya, yang
diakhiri dengan kesimpulan.
Relevansi. Dalam pelaksanaan rukun shalat yang
kedua ini ada mushalli bersikap menganggap remeh dan menyepelekannya. Kekeliruan
sikap ini terjadi akibat tidak memahami pilar-pilar shalat, khususnya berdiri
betul dan struktur-strukturnya.
Tujuan. Agar mushalli memiliki pemahaman
tentang pilar shalat tersebut dan dapat mengaplikasikannya dengan benar
sebagaimana tuntunan Allah dan Rasulullah Saw.
B. Dalil wajib
berdiri betul serta menghadap kiblat
Dalilnya adalah firman Allah Swt dan hadis Nabi Saw:
وَ مِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلّ وَجْهَكَ شَطْرَ اْلمَسْجِدِ اْلحَرَامِ، وَ
حَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَه‘.
Artinya: Dan dari mana saja kamu
berangkat, maka palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram, dan dimana
saja kamu sekalian berada, maka palingkanlah wajahmu (ketika shalat) ke
arahnya. (Q.S. al-Baqarah/ 2: 41)1
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رض قَالَ: كَانَتْ بِى بَوَاسِيْرُ
فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ ص.م عَنِ الصَّلاَةِ، فَقَالَ: صَلّ قَائِمًا فَاِنْ لَمْ
تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَاِنْ لَمْ َسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ. (رواه البجارى)
Artinya: Dari 'Imran bin Hushain ra,
ia berkata : Saya menderita sakit wasir, maka saya bertanya kepada Nabi Saw
tentang shalat, lalu beliau bersabda, "Shalatlah dengan berdiri, jika
tidak dapat maka shalatlah dengan duduk dan jika tidak dapat, maka shalatlah
dengan berbaring". 2
عَنِ اْلبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ
اللهِ ص صَلَّى نَحْوَ بَيْتِ اْلمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا اَوْ سَبْعَةَ
عَشَرَ شَهْرًا وَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يُحِبُّ اَنْ يُوَجَّهَ اِلىَ
اْلكَعْبَةِ فَاَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ (قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى
السَّمَاءِ) فَتَوَجَّهَ نَحْوَ اْلكَعْبَةِ وَ قَالَ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ
وَ هُمُ اْليَهُوْدُ (مَا وَلاَّهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِيْ كَانُوْا
عَلَيْهَا، قُلْ ِللهِ اْلمَشْرِقُ وَ اْلمَغْرِبُ، يَهْدِيْ مَنْ يَّشَآءُ اِلى?
صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ) فَصَلَّى مَعَ النَّبِيّ ص رَجُلٌ ثُمَّ خَرَجَ بَعْدَ مَا
صَلَّى فَمَرَّ عَلَى قَوْمٍ مِنَ اْلاَنْصَارِ فِى صَلاَةِ اْلعَصْرِ نَحْوَ
بَيْتِ اْلمَقْدِسِ، فَقَالَ: هُوَ يَشْهَدُ اَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص
وَ اَنَّهُ تَوَجَّهَ نَحْوَ اْلكَعْبَةِ فَتَحَرَّفَ اْلقَوْمُ حَتَّى
تَوَجَّهُوْا نَحْوَ اْلكَعْبَةِ. (رواه البجارى)
“Artinya:
Dari Barā' bin 'Ȃzib, ia berkata : Dahulu Rasulullah Saw. pernah shalat
menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas
bulan, sedangkan Rasulullah Saw. itu sebenarnya senang sekali jika
diperintahkan menghadap ke arah Ka'bah. Kemudian Allah 'Azza
wa Jalla menurunkan wahyu yang artinya : Sungguh Kami sering melihat
mukamu menengadah ke langit .... . Kemudian Nabi Saw. menghadap ke Ka'bah.
Dan orang-orang bodoh diantara manusia, yaitu orang-orang yahudi berkata,
"Apakah yang memalingkan mereka (ummat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu
mereka telah berqiblat kepadanya ?". Allah menurunkan wahyu-Nya :
Katakanlah, "Kepunyaan Allah lah timur dan barat. Dia memberi petunjuk
kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. (QS. al-Baqarah : 142). Kemudian ada
seorang laki-laki shalat bersama Nabi Saw. setelah selesai shalat, mereka bepergian, lalu melewati suatu kaum dari
orang-orang Anshar yang sedang shalat 'Ashar menghadap ke Baitul Maqdis.
Lalu orang laki-laki itu mengatakan bahwa ia bersaksi sungguh ia baru saja
shalat bersama Rasulullah Saw. dan sesungguhnya beliau menghadap ke arah Ka'bah, lalu kaum
tersebut merubah arah kiblat mereka dan
menghadap ke Ka'bah".3
C. Hukum
berdiri betul dan bentuknya
Berdiri
dalam melaksanakan shalat fardhu hukumnya wajib. Demikian kesepakatan (ijmak)
umat Islam. Dengan demikian, jika seseorang mampu berdiri tetapi dia melakukan
shalat fardhu tidak sambil berdiri maka shalatnya dianggap tidak sah.
Imam Nawawi mengatakan,
“Adapun berdiri yang menjadi syarat (sahnya) shalat adalah menegakkan tulang
punggung. Bagi orang yang mampu (sehat), dia tidak boleh berdiri dengan miring
ke salah satu arah sehingga tidak memperlihatkan bentuk berdiri (sebenarnya).
Dia juga tidak boleh miring seperti orang yang ruku’. Jika miringnya tidak
sampai ruku’, tetapi mirip dengan orang yang
sedang ruku’ maka shalatnya tidak sah karena dia tidak berdiri tegak. Jika dia
merendahkan kepalanya tanpa miring, maka shalatnya sah karena dia masih tegak
berdiri. Pendapat ini tanpa khilaf (perbedaan pendapat)”.
Adapun mengenai orang yang tidak mampu melakukan hal itu karena
punggungnya yang bongkok atau karena tua sekali dan hanya mampu berdiri
sambil membungkuk, bahkan seperti yang sedang ruku’, maka dia harus berdiri
(sekedar berdiri dan tidak tegak). Jika dia akan melakukan ruku’, hendaklah
lebih miring jika dia mampu.4
Imam ar-Ramli
mengatakan dalam kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarh al-Minhaj menjelaskan
bahwa kewajiban berdiri bagi yang kuasa juga termasuk bagi anak kecil, orang
yang shalat sambil telanjang (dalam keadaan ḍarurah, sehingga tidak ada
sesuatu yang bisa dipakai untuk menutup aurat), termasuk pula bagi shalat
fardhu yang di qadha, dan shalat fardhu yang dinazarkan. maka wajib berdiri
ketika melaksanakan takbiratul ihram secara ijma’, sebagaimana yang tertulis
dalam kitab al-Raudhah ka Aṣliha. Adapun alasan para ulama pengarang
kitab mengakhirkan “berdiri” daripada niat dan takbiratul ihram yang
notabenenya berdiri lebih dulu dilakukan daripada keduanya, adalah karena
keduanya merupakan rukun dalam tiap-tiap shalat, sementara berdiri tidak
demikian. Alasan kedua adalah
karena berdiri sebelum keduanya (niat dan takbir) merupakan syarat shalat, dan
berdiri menjadi rukun setelah melakukan niat dan takbir.5
D. Sunat-sunat
dalam berdiri
v Bersedekap yang
benar (posisi tangan dalam shalat)
Menurut
mazhab Syafi’i, posisi bersedekap adalah tangan kanan memegang pergelangan
tangan kiri, kemudian diletakkan di atas pusar di bawah dada.
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ اَنَّهُ رَاَى النَّبِيَّ ص رَفَعَ
يَدَيْهِ حِيْنَ دَخَلَ فِى الصَّلاَةِ
كَبَّرَ (وَصَفَ هَمَّامٌ حِيَالَ اُذُنَيْهِ) ثُمَّ اِلْتَحَفَ بِثَوْبِهِ. ثُمَّ
وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنىَ عَلَى الْيُسْرَى. فَلَمَّا اَرَادَ اَنْ يَرْكَعَ
اَخْرَجَ يَدَيْهِ مِنَ الثَّوْبِ ثُمَّ رَفَعَهُمَا. ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ.
فَلَمَّا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ. فَلَمَّا سَجَدَ
سَجَدَ بَيْنَ كَفَّيْهِ. (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Wail bin Hujr, sesungguhnya ia pernah melihat Nabi Saw. mengangkat
kedua tangannya waktu memulai shalat, beliau bertakbir (Hammam, perawi
hadis menerangkan : beliau mengangkat tangannya hingga sejajar kedua
telinganya) Kemudian beliau berselimut dengan pakaiannya, kemudian beliau
meletakkan tangan kanannya pada tangan kirinya. Ketika beliau akan ruku’,
beliau mengeluarkan kedua tangannya dari pakaiannya, kemudian mengangkat
keduanya, kemudian bertakbir dan ruku’. Ketika beliau membaca “Sami’allāhu
liman ḥamidah”, beliau mengangkat kedua tangannya, dan ketika sujud beliau
sujud diantara dua tapak tangannya”.6
Beberapa
i’tibar dalam literatur kitab-kitab fiqh Syafi'iyyah tentang posisi bersedekap:
( قَوْلُهُ
تَحْتَ صَدْرِهِ وَفَوْقَ سُرَّتِهِ ) أَيٌّ مَائِلًا إِلَى جِهَةِ يُسَارُّهُ
لِأَنَّ الْقَلْبَ فِيهَا
“Di bawah dadanya dan
di atas pusatnya artinya: condong ke arah kirinya, karena hati berada padanya. Dan rahasia tentang meletakkan keduanya seperti demikian, bahwa
adalah keduanya di atas semulia-mulia anggota dan dia adalah hati.”7
( وَوَضَّعَهُمَا
) أَيُّ الْكَفَّيْنِ ( تَحْتَ صَدْرِهِ آخَذَا بيَمِينَهُ يَسَارَهُ ) أَيٌّ
قَابِضَا كُوعِ يُسَارُّهُ بِكَفِّهِ الْيُمْنَى وَيَجْعَلُهُمَا تَحْتَ صَدْرِهِ
وَفَوْقَ سُرَّتِهِ مَائِلَتَيْنٍ إِلَى جِهَةِ يُسَارُّهُ قَلِيلًا لِخُبِرَ
مُسْلِمٌ عَنْ وائل أَنَّه صَلَّى اللهُ عَلَيه وَسَلَّمُ رَفْعُ يَدِيهِ حِينَ
دَخْلٍ فِي الصَّلاَةِ ثَمَّ وَضْعِ يَدِهِ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى
“Dan meletakkan
keduanya artinya: kedua telapak tangan di bawah dadanya, padahal memegang
dengan kanannya akan kirinya, artinya menggenggam akan pergelangan tangan
kirinya dengan tapak tangan kanannya, dan diletakkannya akan keduanya di bawah
dadanya di atas pusatnya, condong keduanya ke sebelah kirinya sedikit.”8
Nukilan di atas menjelaskan bahwa saat berdiri membaca do’a
iftitah posisi tangan yang baik adalah diletakkan di bawah dada di atas pusat
agak condong ke sebelah kiri seperti memegang hati. Caranya adalah memegang
dengan tangan kanannya akan pergelangan tangan yang kiri.
Lebih lanjut al-Imam
Ghazali di dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan: “Kemudian meletakkan kedua tangan di atas pusar
di bawah dada. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri untuk memuliakan
yang kanan. Dengan cara ditekan dan membentangkan jari telunjuk dan jari tengah
kanan di atas lengan, dan menggenggam pergelangan tangan dengan ibu jari, jari
manis dan jari kelingking.”9
Cara seperti inilah yang
dianjurkan dalam bersedekap. Dan telah diamalkan oleh para sahabat Nabi Saw. dan
generasi sesudahnya. Sebagaimana Imam Tirmizi berkata:
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا اَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ
اَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ
بَعْدَهُمْ يَرَوْنَ اَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ يَمِيْنَهُ عَلَى شِمَالِهِ قِي
الصَّلاَ ةِ. وَرَأَى بَعْضُهُمْ أَنْ يَضَعَهُمَا فَوْقَ السُّرَّةِ وَرَأَى
بَعْضُهُمْ أَنْ يَضَعَهُمَا تَحْتَ السُّرَّةِ.
“Cara ini telah diamalkan oleh ahli
ilmu dari kalangan shahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya. mereka semua
meriwayatkan bahwa posisi bersedekap adalah meletakkan tangan kanan di atas
tangan kiri. Di antara mereka ada yang meriwayatkan bahwa posisi kedua tangan
itu adalah di atas pusar, sebagian yang lain mengatakan di bawah pusar.”10
v Membaca
do’a iftitah
Doa Iftitah
yang dicontohkan oleh Nabi Saw. banyak macamnya. Namun jumhur fuqaha
berpendapat bahwa membaca do’a iftitah yang lebih awla adalah sebagaimana yang tercantum di dalam
hadis-hadis berikut:
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلّى مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص اِذْ قَالَ
رَجُلٌ مِنَ اْلقَوْمِ : اَللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَاْلحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا،
وَ سُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَّاَصِيْلاً. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص : مَنِ
اْلقَائِلُ كَلِمَةَ كَذَا وَ كَذَا ؟ قَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلقَوْمِ: اَنَا يَا رَسُوْلَ
اللهِ. قَالَ: عَجِبْتُ لَهَا فُتِحَتْ لَهَا اَبْوَابُ السَّمَاءِ. قَالَ ابْنُ
عُمَرَ فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُولُ ذلِكَ. (رواه
مسلم)
Artinya:
Dari Ibnu 'Umar, ia berkata : Pada suatu ketika kami shalat bersama Rasulullah
SAW. Tiba-tiba ada seorang lelaki dari suatu kaum membaca “Allāhu Akbar
kabīrā, walḥamdu lillāhi kaṡīrā, wa subḥānallāhi bukratan wa aṣīlā”. (Allah
Maha Besar dari segala yang besar, segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya,
dan Maha suci Allah diwaktu pagi dan petang). Maka Rasulullah Saw. bersabda :
"Siapakah orang yang membaca kalimat begitu tadi ?". Lalu seorang
laki-laki dari suatu kaum tadi menjawab : "Saya, ya Rasulullah. Beliau
bersabda : "Saya kagum akan bacaan itu. Telah dibuka karenanya pintu-pintu
langit". Ibnu 'Umar berkata : "Maka saya tidak pernah meninggalkan
bacaan itu sejak mendengar Rasulullah Saw. bersabda yang demikian itu".11
عَنْ عَلِيّ بْنِ اَبِى طَالِبٍ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ ص.م
اَنَّهُ كَانَ اِذَا قَامَ اِلىَ الصَّلاَةِ قَالَ: وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ
فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَ اْلاَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا اَنَا مِنَ اْلمُشْرِكِيْنَ.
اِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَ مَحْيَايَ وَ مَمَاتِى ِللهِ رَبّ
اْلعَالَمِيْنَ.لاَشَرِيْكَ لَهُ وَ بِذلِكَ اُمِرْتُ وَ اَنَا مِنَ
اْلمُسْلِمِيْنَ. اَللّهُمَّ اَنْتَ اْلمَلِكُ لاَ اِلهَ اِلاَّ اَنْتَ. اَنْتَ
رَبّى وَ اَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِى، وَ اعْتَرَفْتُ بِذَنْبِى فَاغْفِرْلىِ
ذُنُوْبِى جَمِيْعًا، اِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلاَّ اَنْتَ ، وَ
اهْدِنِى ِلاَحْسَنِ اْلاَخْلاَقِ، لاَ يَهْدِى ِلاَحْسَنِهَا اِلاَّ اَنْتَ، وَ
اصْرِفْ عَنّى سَيّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنّى سَيّئَهَا اِلاَّ اَنْتَ. لَبَّيْكَ
وَ سَعْدَيْكَ. وَ اْلخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيْكَ. وَ الشَّرُّ لَيْسَ اِلَيْكَ.
اَنَا بِكَ وَ اِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَ تَعَالَيْتَ. اَسْتَغْفِرُكَ وَ اتُوْبُ
اِلَيْكَ. (رواه مسلم)
Artinya: Dari Ali bin Abu Thalib, dari Rasulullah Saw.
sesungguhnya beliau apabila berdiri shalat, beliau membaca (yang artinya) :
"Aku hadapkan wajahku dengan lurus kepada (Allah) yang telah menjadikan
langit dan bumi, dan aku bukanlah dari golongan orang-orang musyrik.
Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku adalah untuk Allah Tuhan
semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya. Dan dengan demikian itulah aku
diperintahkan, dan aku adalah termasuk orang-orang yang berserah diri. Ya
Allah, Engkaulah Raja, tiada Tuhan selain Engkau, Engkau adalah Tuhanku dan aku
adalah hamba-Mu. Aku telah menganiaya diriku dan aku mengakui dosa-dosaku,
karena itu ampunilah dosa-dosaku semuanya. Sesungguhnya tidak ada yang bisa
mengampuni dosa kecuali Engkau, dan tunjukilah aku kepada sebaik-baik akhlak,
dan tidak ada yang bisa menunjuki kepada sebaik-baik akhlak kecuali Engkau. Dan
palingkanlah dariku akhlak yang buruk, dan tidak ada yang bisa memalingkan
akhlak yang buruk dariku selain Engkau. Aku sambut panggilan-Mu dan aku tetap ta’at
kepada-Mu dan menolong agama-Mu. Dan kebaikan semuanya ada ditangan-Mu. Dan
kejahatan tidaklah menuju kepada-Mu. Aku memohon kebaikan kepada-Mu dan
berlindung kepada-Mu. Maha suci Engkau dan Maha Tinggi. Aku mohon ampun
kepada-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu".12 Dan dalam riwayat lain disebutkan seperti diatas, namun
bukan dengan lafadz "wa ana minal muslimīn", tetapi dengan
lafadz "wa ana awwalul muslimīn".13
Setelah
melakukan posisi bersedekap dengan sempurna, diam sejenak sebelum membaca do’a
iftitah yang dalam istilah lain disebut dengan tawajjuh. Do’a iftitah ini
disunnahkan baik dilakukan di dalam shalat sendirian maupun shalat berjama’ah
baik shalat fardhu maupun shalat sunnah. Kesunnahan membaca tawajjuh adalah
sebelum membaca surat al-Fatihah pada raka’at pertama. Apabila seseorang telah
membaca al-Fatihah, berarti hilanglah kesunnahan membaca do’a tawajjuh ini.14
Adapun lafadz bacaan do’a iftitah adalah sebagai
berikut:
اَللهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًا، وَاْلحَمْدُ ِللهِ
كَثِيْرًا، وَ سُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَّاَصِيْلاً ، وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَ
اْلاَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا اَنَا مِنَ
اْلمُشْرِكِيْنَ, اِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَ
مَحْيَايَ وَ مَمَاتِى ِللهِ رَبّ اْلعَالَمِيْنَ.لاَشَرِيْكَ لَهُ وَ بِذلِكَ
اُمِرْتُ وَ اَنَا مِنَ اْلمُسْلِمِيْنَ
“Allah Maha Besar kekuasaan-Nya lagi sempurna
kebesaran-Nya. Segala puji bagi Allah, dengan pujian yang banyak. Dan Maha Suci
Allah sepanjang pagi dan sore. Kuhadapkan hatiku kepada Zat yang menciptakan langit dan bumi, dengan
penuh kepatuhan kepasrahan dan aku bukanlah termasuk golongan kaum yang menyekutukan
Allah. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata hanya
untuk Allah seru sekalian alam. Tidak ada sekutu bagiNya. Dan dengan itu aku
diperintahkan. Dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri (Islam).”
E. Kesimpulan
Seseorang bisa dikatakan
berdiri pada shalat, apabila dia tegak lurus. Tetapi apabila dia membungkuk
tanpa uzur, sehingga telapak tangannya dapat menyentuh lututnya, maka batal
shalatnya, karena berdiri merupakan salah satu rukunnya. Dan
apabila orang yang mampu shalat itu mampu berdiri pada sebagian
shalatnya, sedang pada sebagian lainnya tidak, maka dia wajib berdiri dimana
saja yang memungkinkan, dan selebihnya duduk. Dengan adanya ikatan shalat
fardhu, maka shalat sunnah tidak termasuk yang diwajibkan berdiri.
Artinya, berdiri dalam shalat sunnah adalah mutlak mandub
hukumnya. Jadi, orang boleh duduk dalam shalat sunnah, baik dia mampu
berdiri atau tidak.
___________________________________
Referensi:
- RI, Agama ,Departemen. al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Departemen Agama RI, 1990).
- Imam Bukhāri, Ṣaḥīḥ Al-Bukhāri, Juz. II (Mesir: Dār wa Maṭba’ī al-Syābi, tt..), h. 41.
- Ibid, Juz. I, h. 104.
- Imam An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhażżb, Juz III (Beirut: Darul Fikr, 1996), h. 263.
- Imam Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Juz. I (Beirut: Darul Fikr, t.t.), h. 465.
- Imam Muslim, Ṣaḥiḥ Muslim, Juz. I (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t.) , h. 301.
- al-Bakri Muhammad Syaṭa ad-Dimyaṭi, I’ānah, Juz. I, h. 135.
- Nawawi al-Bantani, Nihayah al-Zain fi Irsyadil Mubtadīn, Juz I (Kairo: Darul Qalam, 1996), h. 58.
- Imam al-Gazali, Iḥya’ ‘Ulûm al-Dīn, Juz. II (Semarang :Toha Putra, t.t.), h. 274.
- at-Tirmizi, Sunan Tirmzi, Juz. II (Semarang: Toha Putra, t.t.), h.32. Lihat Juga, Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz. I (Beirut: Darul Fikr, tt.), h. 260.
- Imam Muslim, Shahih, Juz. I, h. 420.
- Ibid, h. 534.
- Ibid, h. 536.
- Mustafa Khan, Mustafa al-Baga dan Ali al-Syarbaji, al-Fiqh al-Manḥajī ‘alā Maẓhab al-Imām asy-Syafi’i, Juz. I (Maktabah syamilah), h. 149.
0 comments:
Post a Comment