Home » » Pilar Shalat Yang Ke Enam (‘Itidal)

Pilar Shalat Yang Ke Enam (‘Itidal)

  
   A.  Pendahuluan
I’tidal adalah berdiri kembali pada posisi semula setelah melakukan ruku’ secara sempurna. Apabila telah selesai ruku', maka hendaklah kita bangkit dari ruku' dengan mengangkat dua tangan hingga sejajar dengan dua bahu/ telinga sambil mengucapkan Sami'allāhu liman ḥamidah. Kemudian disusul dengan membaca Rabbanā lakal-ḥamdu..., bacaan i'tidal. Dalam pembahasan kali ini akan di bahas tentang tata cara ‘itidal. Tujuannya untuk menggambarkan tata cara ‘itidal yang benar menurut tuntunan Rasulullah Muhammad Saw.


B.  I'tidal
Dari Abu Sa’īd al-Khudrī, dia berkata:
عَنْ اَبِى سَعِيْدِ اْلخُدْرِيّ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م اِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ قَالَ: رَبَّنَا لَكَ اْلحَمْدُ، مِلْءُ السَّمَاوَاتِ وَ اْلاَرْضِ وَ مِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ. اَهْلَ الثَّنَاءِ وَ اْلمَجْدِ، اَحَقُّ مَا قَالَ اْلعَبْدُ، وَ كُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ. اَللّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا اَعْطَيْتَ
 وَ لاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَ لاَ يَنْفَعُ ذَا اْلجَدّ مِنْكَ اْلجَدُّ. (رواه مسلم)[1]
Artinya:  Dari Abu Sa’īd Al-Khudrī, ia berkata : Adalah Rasulullah Saw. setelah mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau membaca “Rabbanā lakal-ḥamdu...”. (Ya Tuhan kami, bagi-Mula segala puji sepenuh langit dan bumi dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki sesudah itu. Wahai Tuhan yang mempunyai Sanjungan dan Keagungan, yang lebih hak dari apa yang diucapkan hamba, dan kami semua adalah hamba-Mu. Ya Allah, tidak ada yang bisa menghalangi terhadap apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang bisa memberi terhadap apa yang Engkau halangi. Dan kekayaan dari-Mu tidaklah bermanfaat kepada orang yang mempunyai kekayaan.

C.  Tata cara ‘itidal
Mengenai tata cara i’tidal, di dalam shahih al-Bukhari disebutkan:
فَقَالَ أَبُو حَمِيدٍ الساعديُّ أَنَا كُنْتُ أَحِفْظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيه وَسَلَّمَ رَأَيْتِهِ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدِيَهُ حِذاءَ مَنْكِبِيِهِ و مَنْكِبِيِهِ وَإِذَا رُكَّعٍ اُمْكِنَّ يَدِيَهُ مِنْ ركبتيه ثَمَّ هصرِ ظُهْرِهِ فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اِسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارِ مَكَانِهِ فَإِذَا سُجَّدِ وَضْعِ يَدِيهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلَا قَابِضَهُمَا وَاِسْتَقْبَلَ بِأَطْرافِ أَصابِعِ رَجُلِيِهِ الْقِبْلَةِ فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكَعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبُّ الْيُمْنَى واذا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةَ قَدَمُ رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبُّ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مُقْعَدَتِهِ.(صحيح البخارى)[2]
Artinya: Berkata Abu Ḥumaidi al-Sā’idī, aku senantiasa menjaga shalat bersama Rasulullah Saw., aku melihat beliau apabila bertakbiratul ihram, beliau mengangkat tangan hingga lurus pada dua pundaknya. Apabila ruku’ menempatkan kedua tangan di lutut kemudian meluruskan punggungnya. Pada saat i’tidal mengangkat kepalanya sehingga seluruh ruas anggota tubuhnya kembali ke posisi semula. Ketika sujud meletakkan kedua tangan, tidak dibentangkan atau dirapatkan, dan ujung jari-jemari kaki dihadapkan ke arah kiblat. Ketika duduk pada raka’at kedua, beliau duduk pada kaki kiri dan meluruskan yang kanan, dan pada saat duduk di raka’at terakhir, beliau memasukkan kaki kirinya dan duduk di lantai tempat shalat.
Imam ibnu Hajar secara sharih dan terang menjelaskan dalam kitab beliau Tuhfatul Muhtaj jilid 2 hal 67 bahwa yang disunatkan ketika berdiri dari ‘itidal adalah melepaskan tangan/ irsal.[3] Dan beliau juga menolak pendapat yang mengatakan bahwa yang sunat ketika i`tidal adalah bersedekap.[4]
Berdasarkan hadis tersebut, di dalam kitab Bidayah al-Hidayah, al-Imam al-Gazali juga memberikan penjelasan:
... ثُمَّ اِرْفَعْ رَأْسَكَ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا و اِرْفَعْ يَدِيَكَ قَائِلًا سُمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَإِذَا اُسْتُوِيتِ قَائِمًا رَبَّنَا لَكَ اْلحَمْدُ، مِلْءُ السَّمَاوَاتِ وَ وَ مِلْءُ اْلاَرْضِ وَ مِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ،...[5]
…“Kemudian (setelah ruku’) angkatlah kepalamu hingga berdiri tegak. Dan angkat pula kedua tanganmu seraya mengucapkan { Sami’allāhu liman ḥamidah }. Dan ketika sudah tegak berdiri beliau membaca do’a { Rabbanā lakalḥamdu... }.
Selanjutnya setelah sempurna berdiri, disunnahkan untuk membaca do’a:
رَبَّنَا لَكَ اْلحَمْدُ، مِلْءُ السَّمَاوَاتِ وَ وَ مِلْءُ اْلاَرْضِ وَ مِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ
“Tuhan kami, bagi-Mu seluruh pujian sepenuh langit, bumi dan segala sesuatu yang Engkau kehendaki sesudah itu”.

D.  Penutup
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ketika bangkit dari ruku’ ke ‘itidal, pada saat posisi berdiri tegak, kedua tangan dalam posisi lurus ke bawah, tidak digerak-gerakkan maupun digoyang-goyangkan, dan tidak pula dengan posisi bersedekap. Tetapi didalam pelaksanaan shalat masih saja kita mendapatkan mushallīn baik imam atau makmum yang mengayunkan tangannya tatkala ‘itidal.





Footnot:
[1] Imam Muslim, Shahih,  Juz. I,  h. 347.
[2] Imam al-Bukhāri, Ṡaḥīḥ, Juz. III, h. 324.
[3] Ibnu Hajar al-Haitami, Tuḥfah, Juz. II, h. 67 dan 72.
[4] Sulaiman al-Bujairimi, Ḥasyiah al-Bujairimi `ala al-Khatib, Juz. I (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, t.t), h. 274.
[5] Imam al-Gazali, Bidayah, h. 46.

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.